Jakarta, Harian Umum- Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah yakin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) takkan menuntaskan kasus dugaan suap terhadap Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan puluhan pihak lainnya oleh Basuki Hariman, bos CV Sumber Laut Perkasa, dalam kasus suap impor daging sapi.
Pasalnya, kasus ini telah ditangani sejak 2017, namun faktanya kasus ini bukannya tuntas, malah di tangan Tito, Polri berubah menjadi alat penguasa, bukan lagi pengayom dan pelindung masyarakat sebagaimana diamanatkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
"KPK bukannya takut untuk menangani kasus ini, tapi diduga sengaja mengambangkannya agar Tito bisa disandera, sehingga mau tak mau Tito dan institusi yang dipimpinnya menjadi pendukung pemerintah," katanya kepada harianumum.com di Jakarta, Selasa (9/10/2018).
Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) tersebut mengatakan, saat ini setidaknya ada dua kasus yang diambangkan KPK dan tidak dituntaskan, dan kedua pelaku atas kasus itu saat ini termasuk pendukung setia pemerintahan Jokowi-JK. Kedua kasus dimaksud adalah kasus kardus durian yang melibatkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan kasus dana perimbangan daerah yang menjerat Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
"Praktik KPK kan begitu. Lihat saja, meski kasus dugaan kardus durian, atau kasus suap pembahaan anggaran untuk dana optimalisai Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diduga melibatkan Muhaimin telah ditangani sejak 2012, hingga kini penanganannya tidak jelas, dan Muhaimin yang saat kasus terjadi menjabat sebagai Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi tak pernah ditahan. Apalagi diajukan ke persidangan," katanya.
Amir mengakui kalau apa yang dilakukan KPK ini merusak citranya sendiri, meski sejauh ini KPK terlihat bekerja dengan profesional,
"Tapi saya yakin jika di 2019 nanti rezim berganti, para komisioner lembaga antirasuah itu akan cari muka kepada pemerintahan yang baru, sehingga bisa jadi kasus-kasus yang selama ini diambamgkan, akan dituntaskan," katanya,
Ketika ditanya mungkinkah para komisioner KPK itu diganti meski masa baktinya belum habis?
"Itu kewenangan presiden dari pemerintahan yang baru," jawab aktivis senior ini.
Seperti diberitakan media, Senin (8/10/2018), berdasarkan hasil pencatatan Kumala Dewi Sumartono, staf bagian keuangan Basuki Hariman yang tertuang dalam sebuah buku berwarna merah, dan keterangan Kumala sebagai saksi dicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) oleh penyidik KPK, diketahui kalau untuk memuluskan impor daging sapi perusahaannya, Basuki menyuap 68 pihak.
"Sejumlah nama pejabat di Mabes Polri dan lembaga di bawahnya, Bea Cukai, Balai Karantina, TNI, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, juga tercantum dalam buku merah itu," jelas IndonesiaLeaks, organisasi yang membongkar skandal ini, melalui akun @inaleaks.
Dalam buku itu nama Tito disebut paling banyak, yakni sedikitnya hingga delapan kali, karena Tito merupakan pihak yang menerima suap paling banyak, yakni Rp8 miliar, yang ditransfer secara rutin setiap bulan pada Januari-September 2016. Kala transfer dilakukan, Tito menjabat sebagai Kapolda, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kapolri.
Rinciannya, tiga kali transfer saat Tito menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya (jabatan ini diduduki Tito pada Juni 2015 hingga Maret 2016); tiga transfer dilakukan saat Tito menduduki jabatan kepala BNPT (di emban pada Maret- 12 Juli 2016); dan satu transfer dilakukan setelah Tito dilantik menjadi Kapolri pada 13 Juli 2016.
Saat kasus suap ini masuk pengadilan, Jaksa KPK tidak menyebut-nyebut adanya suap untuk Tito, dan bukan itu saja, buku merah yang menjadi barang bukti penting itu pun ternyata telah dirusak oleh penyidik KPK dari unsur kepolisian pada 7 April 2017.
Dari hasil rekaman CCTV di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK, diketahui kalau perusak barang bukti adalah AKBP Roland Ronaldy dan Kompol Harun. Perusakan dilakukan dengan menghapus sejumlah data di buku itu dengan menggunakan tip-x, dan merobek 15 lembar halaman di buku itu yang berisi data penting lainnya.
Oleh pimpinan KPK, kedua penyidik lancang itu kemudian dikembalikan ke kesatuannya sebagai bentuk hukuman, meski masa tugasnya di KPK belum selesai.
"catatan keuangan perusahaan Basuki Hariman sempat membuat gaduh internal KPK. Nama berbagai institusi dan pejabat negara disebut di dalamnya. Dua Perwira Menengah Polri yang bertugas di komisi anti rasuah bergerak mengamankan situasi," kata IndonesiaLeaks dalam cuitannya yang lain di akun @inaleaks.
Kasus suap impor daging sapi ini terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar pada awal 2017, dan buku merah itu merupakan salah satu barang bukti yang disita.
Buku merah itu merupakan buku bank atas nama Serang Noor IR dengan nomor rekening 4281755*** dan merupakan nasabah Bank BCA cabang Sunter Mall, Jakarta Utara. Buku ini menjadi barang bukti karena kasus Patrialis juga menjerat Basuki sebagai tersangka bersama Ng Fenny, anak buahnya yang menjabat sebagai general manager.
Seperti halnya Kumala, Serang juga merupakan karyawan Basuki.
Polri membantah
Menyikapi adanya publikasi soal dugaan suap terhadap Kapolri oleh Basuki yang dalam laporan IndonesiaLeaks diberi judul "Skandal Perusakan Buku Merah", Mabes Polri
"Oh, itu kan berita lama. Tahun 2017," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto kepada media, Senin (8/10/2018).
Ia meminta agar media meminta tanggapan kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan, karena tanggapan serupa pernah disampaikan Tito pada Agustus lalu.
Menurut IndonesiaLeaks, pada Agustus 2018 lalu, pihaknya memang pernah melakukan konfirmasi kepada Tito, dan Kapolri tersebut membantah pernah menerima aliran uang suap dari Basuki.
"Sudah dijawab oleh Humas. Sudah dijawab oleh Humas. Resmi! Cukup ya?" kata Tito kala itu.
Sebelumnya, melalui keterangan surat tertulis, Kabiro Penerangan Masyrakat Divisi Humas Polri kala itu, Muhammad Iqbal, memang membantah ada aliran dana dari Basuki kkepada Tito.
Menurut dia, catatan dalam buku merah itu belum tentu benar.
“Tidak benar, Kapolri tidak pernah menerima itu. Dulu waktu menjadi Kapolda Papua, Kapolri juga pernah mengalami hal yang sama dan sudah diklarifikasi,” kata dia. (rhm)