Jakarta, Harian Umum - Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah mengeritik keras pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang dinilainya telah melampaui batas adab kenegaraan dan berpotensi memperkeruh hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia.
Pernyataan itu disampaikan dalam podcast Suara Lokal Mengglobal, di mana dalam podcast tersebut Tito mengatakan bahwa bantuan medis yang dikirim Malaysia ke Aceh senilai kurang dari Rp 1 miliar, tidak seberapa dibandingkan dengan sumber daya penanggulangan bencana Indonesia.
Pernyataan Tito ini sebelumnya juga mendapat kritik keras dari mantan Menteri Luar Negeri Malaysia, Tan Sri Rais Yatim, yang menyebut bahwa pernyataan Tito itu tidak pantas diucapkan oleh seorang menteri.
Menurut Amir, ucapan dan sikap seorang pejabat setingkat menteri tidak bisa dipandang sebagai ekspresi personal semata, melainkan selalu membawa simbol dan wibawa negara.
Dalam konteks hubungan antarnegara, setiap pernyataan pejabat tinggi memiliki implikasi serius.
“Cara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian itu jelas menyalahi adab. Sikap seperti ini sangat berpotensi memperkeruh hubungan persahabatan antara Indonesia dan Malaysia yang selama ini sudah terbangun dengan susah payah,” kata Amir di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Amir menegaskan, hubungan Indonesia dan Malaysia bukan sekadar relasi formal antarnegara, melainkan hubungan historis, kultural, dan strategis yang harus dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Oleh karena itu, ia menilai sangat tidak tepat apabila urusan dalam negeri dicampuradukkan dengan isu yang bersinggungan langsung dengan relasi antarnegara.
“Tito seharusnya memahami batas kewenangan dan etika. Jangan mencampuradukkan kegiatan dan kepentingan dalam negeri dengan urusan yang berkaitan dengan hubungan internasional. Itu bukan tugas dan fungsi Menteri Dalam Negeri,” tegasnya.
Amir mengingatkan bahwa dalam sistem pemerintahan modern, setiap kementerian memiliki ruang kerja yang jelas. Urusan diplomasi dan hubungan luar negeri merupakan domain Kementerian Luar Negeri dan presiden sebagai kepala negara, bukan Mendagri.
Lebih jauh, Amir menilai bahwa pernyataan yang dinilai tidak beradab tersebut tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral Indonesia–Malaysia, tetapi juga berpotensi merusak kehormatan dan martabat Presiden Prabowo Subianto di mata negara tetangga.
“Ucapan yang tidak pantas dari seorang menteri bisa ditafsirkan sebagai sikap resmi pemerintah. Ini bisa mencederai wibawa Presiden di hadapan pemimpin negara lain, khususnya Malaysia,” ujarnya.
Menurut Amir, dalam diplomasi internasional, kesan dan persepsi sangat menentukan. Kesalahan tutur kata seorang pejabat tinggi bisa dimaknai sebagai sikap negara, meskipun tidak pernah dimaksudkan demikian.
Atas dasar itu, Amir secara tegas mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan evaluasi serius terhadap posisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia bahkan menyarankan agar Presiden segera mengganti Tito dengan tokoh nasional lain yang dinilai lebih berbobot, matang secara politik, serta memahami etika pemerintahan dan batas-batas kewenangan.
“Agar tidak terulang lagi, sebaiknya Presiden Prabowo segera mengganti Tito Karnavian. Indonesia membutuhkan Menteri Dalam Negeri yang fokus mengelola urusan domestik, bukan mencampurbaurkan dengan aktivitas diplomatik yang sensitif,” katanya.
Ia menilai, pada masa awal pemerintahan Prabowo, stabilitas politik dalam negeri dan hubungan baik dengan negara-negara sahabat merupakan modal penting untuk menjalankan agenda besar pemerintahan, mulai dari pembangunan ekonomi, keamanan regional, hingga posisi strategis Indonesia di kawasan ASEAN.
Amir juga menekankan pentingnya keteladanan pejabat negara, terutama dalam bertutur kata dan bersikap di ruang publik. Di era keterbukaan informasi, pernyataan pejabat dengan mudah menyebar dan dikonsumsi publik lintas negara.
“Pejabat negara harus sadar bahwa setiap ucapannya direkam sejarah dan dinilai oleh publik internasional. Adab, etika, dan kebijaksanaan adalah syarat mutlak,” tutup Amir.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian maupun dari Istana Kepresidenan terkait desakan evaluasi tersebut.
Namun, polemik ini kembali mengingatkan publik akan pentingnya kehati-hatian pejabat negara dalam menjaga marwah diplomasi dan kehormatan Republik Indonesia di mata dunia. (rhm)







