Jakarta. Harian Umum - Rencana pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengakomodir Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, direspon positif Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah.
Ia menilai, rencana penerbitan PP itu bukan sekadar langkah administratif, melainkan merupakan strategi politik-hukum Presiden Prabowo Subianto untuk secara sistematis dan terukur membawa perubahan UU Polri ke DPR RI pada tahun depan.
Karenanya, kata dia, PP tersebut harus dibaca dalam kerangka besar konsolidasi institusional Polri pasca-transisi kekuasaan nasional, sekaligus sebagai instrumen awal pembentukan norma baru yang kelak akan dilegitimasi melalui revisi UU Polri.
“Ini bukan kebijakan yang berdiri sendiri. PP untuk Perpol 10/2025 adalah blueprint normatif yang sengaja diletakkan pemerintah agar DPR memiliki bahan konkret saat membahas revisi UU Polri tahun depan,” ujar Amir di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Dalam perspektif intelijen negara, Amir menjelaskan bahwa regulasi tingkat PP sering digunakan sebagai alat uji kebijakan (policy testing) sebelum dinaikkan menjadi undang-undang. Dengan cara ini, pemerintah dapat membaca respons publik, sikap fraksi-fraksi DPR, hingga reaksi masyarakat sipil.
“Dalam dunia intelijen kebijakan, ini disebut controlled exposure. Pemerintah melempar regulasi lebih dulu, melihat resistensi dan dukungan, lalu menyempurnakannya di level UU,” jelas Amir.
Ia menilai Presiden Prabowo memilih jalur ini untuk menghindari turbulensi politik yang kerap muncul jika revisi UU strategis langsung diajukan tanpa pemanasan wacana.
Salah satu poin paling krusial dalam PP tersebut adalah tetap diaturnya penempatan anggota Polri pada jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga, sebagaimana masih diakomodasi dalam UU Polri yang berlaku saat ini.
Amir menilai, langkah ini menunjukkan realitas kompromi antara kebutuhan negara dan semangat reformasi.
“Secara normatif, PP ini memang tidak keluar dari UU Polri yang ada, tapi justru di situlah letak pesannya: pemerintah ingin DPR membahas ulang batas, mekanisme, dan pengawasan jabatan sipil Polri secara lebih tegas dalam revisi UU nanti,” katanya.
Dalam analisis geopolitik, Amir menyebut bahwa negara-negara dengan kompleksitas keamanan tinggi cenderung menempatkan aparat keamanan di sektor-sektor strategis. Namun, tanpa kerangka hukum yang kuat, hal itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan erosi supremasi sipil.
Amir meyakini DPR RI akan menjadikan PP tersebut sebagai bahan utama dan referensi awal dalam pembahasan revisi UU Polri tahun depan. Ia optimistis DPR akan menyetujui revisi UU Polri dengan tetap menjaga semangat reformasi.
“DPR tidak akan membatalkan mentah-mentah. Justru PP ini akan dibedah, dikritisi, lalu dijadikan fondasi perubahan. Ini jalur konstitusional yang paling aman,” tegas Amir.
Ia menambahkan, Presiden Prabowo secara politik tidak ingin dicap sebagai pemimpin yang mengembalikan dwifungsi atau memperluas kekuasaan aparat tanpa kontrol sipil.
Dalam kaca mata intelijen kekuasaan, Amir menilai gaya Prabowo kali ini berbeda dengan narasi yang selama ini dilekatkan padanya. Alih-alih konfrontatif, Prabowo memilih strategi konsolidatif dan gradual.
“Prabowo sedang membangun stabilitas jangka panjang. Ia tahu Polri adalah institusi kunci. Maka yang dipilih bukan gebrakan keras, tapi penataan bertahap melalui regulasi,” katanya.
PP atas Perpol 10/2025, lanjut Amir, adalah kode politik bahwa pemerintah ingin perubahan, tetapi melalui mekanisme demokratis dan pembahasan terbuka di parlemen.
Amir menegaskan bahwa pertarungan substansial sesungguhnya baru akan terjadi saat revisi UU Polri masuk agenda legislasi DPR RI tahun depan. Di situlah akan diuji sejauh mana komitmen reformasi, supremasi sipil, dan profesionalisme Polri benar-benar diwujudkan.
“PP ini hanyalah pembuka jalan. DPR-lah yang akan menentukan arah akhirnya. Apakah Polri semakin profesional dan modern, atau justru semakin melebar ke ranah sipil,” pungkas Amir.
Seperti diketahui, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menuai polemik karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 144/PUU-XXIII/2025 yang justru melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga.
Kritik atas penerbitan itu oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo antara lain datang dari mantan Ketua MK Mahfud MD yang mengatakan bahwa kalaupun memang ketentuan dalam Perpol tersebut dibutuhkan, seharusnya tidak diatur dalam Perpol, melainkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah (PP).
Pernyataan Mahfud ini agaknya direspon Presiden Prabowo Subianto, sehingga akan menerbitkan PP yang mengatur bahwa polisi aktif bisa menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga. (rhm)


