Jakarta, Harian Umum - Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah mengatakan, Komite Pencegahan Korupsi (PK) harus dapat membantu Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno menyelesaikan semua persoalan yang mengindikasikan adanya kerugian daerah.
Pasalnya, kasus-kasus itu pula yang membuat hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI mendapatkan empat kali WDP (wajar dengan pengecualian) dan sekali disclaimer dalam lima tahun terakhir.
"Sesuai UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di salah satu pasalnya diatur bahwa tugas Inspektorat adalah memeriksa kinerja birokrat dan melaporkannya ke Wagub jika ditemukan indikasi pidana. Selanjutnya, Wagub melaporkan temuan itu ke pihak berwajib," kata Amir kepada harianumum.com di Jakarta, Kamis (4/1/2017).
Dengan adanya ketentuan itu, lanjut dia, maka Komite PK hanya dapat membantu Anies dan Sandi dengan cara mencari informasi, melakukan investigasi, dan kemudian menyampaikan data/informasi yang didapat kepada Anies-Sandi untuk ditindaklanjuti.
Saat pencarian informasi atau investigasi tersebut, tegas Amir, Komite PK dapat memanggil pihak-pihak yang terkait dengan semua persoalan itu, untuk mendapatkan keterangan dari mereka. Tak bisa memeriksa kinerja SKPD (satuan kerja perangkat daerah).
Meski demikian, kata Amir, dengan mengacu pada Perda No 14 Tahun 2011 tentang Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran Terpadu, Komite PK dapat melibatkan BPK, BPKP dan KPK dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
"Fakta sekarang ini kan ada kasus-kasus yang belum dituntaskan KPK, dan ada yang masih berupa temuan BPK, namun harus diselesaikan Anies-Sandi. Nah, Komite PK harus dapat membantu menyelesaikan semua itu," imbuhnya.
Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini menyebut, kasus-kasus dimaksud antara lain kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) seluas 3,64 hektare oleh Gubernur Ahok pada 2014 yang menurut hasil audit BPK merugikan Pemprov DKI sebesar Rp191 miliar; kasus pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat; dan aset Pemprov senilai Rp10 triliun yang tak jelas dimana keberadaannya.
Selain itu juga ada kasus pembangunan fasilitas Pengujian Kendaraan Bermotor di Jagakarsa, Jakarta Selatan, oleh PT SAWU, yang sudah 25 tahun tak juga rampung dikerjakan, namun tetap meminta kerjasama dilanjutkan. Yang aneh, berkas perjanjian kerjasama (PKS) antara PT itu dengan Pemprov, hilang dan hingga kini belum ditemukan, sehingga diduga ada kongkalikong yang melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dan Wagub Sandiaga Salahuddin Uno, Rabu (3/1/2018), melantik ketua dan anggota Komite PK di Balaikota, Jakarta.
Anies mengatakan, komite ini merupakan bagian dari salah satu komponen TGUPP karena pencegahan korupsi merupkan komponen pertama dalam tim ini, dan dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 196 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 187 tentang Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan.
Anies menjelaskan, Komite PK dibentuk untuk mencegah korupsi secara sistemik dan sistematis. Pencegahan tidak hanya pada orangnya, tapi juga sistemnya, sehingga dengan adanya komite ini, maka akan dibangun sebuah sistem data yang terintegrasi demi membangun integritas aparatur sipil Pemprov DKI Jakarta.
Ia bahkan mengatakan kalau Komite PK akan menjadi penghubung antara Pemprov DKI dengan masyarakat dan lembaga negara lain, seperti KPK, dalam melakukan pengawasan serta pencegahan korupsi di Provinsi DKI Jakarta.
“Kami ingin agar terwujudnya pemerintahan bersih bukan hanya menjadi milik satu dua orang tokoh saja, yang akan hilang begitu mereka pergi. Namun kami ingin perubahan mendasar dalam sistemnya, sehingga terwujudnya pemerintahan bersih akan bersifat lestari dan berlangsung lama,” tegasnya. (rhm)