TRISAKTI SOEKARNO dan Trilogi Soeharto memiliki nilai-nilai positif yang terbukti dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih. Semestinya konsep keduanya dikolaborasikan untuk menghasilkan konsep paripurna untuk menuju Indonesia Emas 2045.
-----------------------------
Oleh: Prihandoyo Kuswanto
Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila .
Dikotomi Soekarno dan Soeharto terus saja berlangsung, padahal sebagai Bapak Bangsa, keduanya sudah cukup banyak berjasa bagi bangsa ini .
Terlepas dari kekurangannya sebagai manusia, bangsa ini harus mampu mengambil nilai-nilai positif agar bisa tegak menatap Indonesia Emas 2045.
Dibutuhkan rekonsiliasi pemikiran Soekarno dan Soeharto, karena dapat menjadi kekuatan bagi Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Jika Bung Karno dengan konsep Trisakti-nya, Pak Harto menerjemahkan konsep Bung Karno itu menjadi Trilogi Pembangunan .
Konsep Trisakti memiliki tiga pilar utama:
1. Berdaulat dalam Politik, di mana bangsa Indonesia harus mampu mengatur dirinya sendiri, tanpa intervensi asing.
2. Berdikari dalam Ekonomi, di mana Indonesia harus mampu mandiri dalam mengelola sumber daya dan perekonomiannya untuk kesejahteraan rakyat.
3. Berkepribadian dalam Kebudayaan, di mana warisan budaya bangsa harus dilestarikan dan nilai-nilai luhur masyarakat harus tetap dijaga.
Konsep ini diejawantahkan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Pak Harto dengan berupaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan berlandaskan pada UUD 1945, bahkan MPR dan Ssistem MPR dipertahankan, karena UUD 1945 adalah cita cita dan sistem bernegara yang tidak boleh dirubah .
Konsep Trisakti dalam Trilogi Pembangunan
Dalam mengaplikasikan Trisaksi, Pak Harto menerjemakannya dalam konsep Trilogi Pembangunan yang dioperasionalkan dibdalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai berikut:
1. Berdaulat Dalam Bidang Politik
Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diformalisasi melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1978 Tahun 1978. P4 ditetapkan pada tanggal 22 Maret 1978, bersamaan dengan Tap MPR tersebut dikeluarkan.Pasal 4 Tap MPR Nomor II/MPR/1978 Tahun 1978 yang berisi bahwa P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia.
Setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah, P4 dilaksanakan secara bulat dan utuh.
TAP MPR Nomor IV/MPR/1983 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Referendum. Ketetapan ini mengatur tentang pelaksanaan referendum untuk meminta pendapat rakyat terhadap kebijakan penting ketetapan ini untuk memagari agar jika terjadi amendemen terhadap UUD 1945 tidak mudah terjadi .
Namun, ketetapan ini kemudian dicabut dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 untuk menganmandemen UUD 1945.
Di Amerika Serikat, untuk mengubah satu ayat dalam konstitusinya dibutuhkan jajak pendapat selama 2 tahun, sementara di Australia untuk merubah 1 ayat dalam konstitusinya dilakukan referendum. Namun, di Indonesia amandemen UUD 1945 yang dilakukan hingga empat kali dengan hasil mengubah seluruh batang tubuh yang akhirnya menghasilkan UUD 2002, sesuai tahun UUD hasil amandemen itu disahkan, rakyat sama sekali tidak dilibatkan. Cukup dengan pemufakatan yang menurut saya merupakan pemufakatan jahat, Tap MPR dan UU tentang Referendum dihapus dengan tudingan UUD 1945 tidak sesuai dengan jiwa demokrasi.
Dengan mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002, para pelaku pemufakatan jahat itu telah menghilangkan kedaulatan rakyat yang diwakili oleh utusan daerah dan utusan golongan yang duduk di MPR, dan mengalihkan kedaulatan itu kepada Parpol, karena kini yang duduk di MPR selain anggota DPD adalah anggota DPR yang notabene merupakan kader Parpol.
MPR bahkan didegradasi dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi, sehingga MPR yang semula merupakan perwujudan perwakilan rakyat, sekaligus cerminan kedaulatan rakyat, tak lagi dapat mengemban amanat rakyat, dan tak lagi dapat mengontrol jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh kader Parpol.
Para pelaku pemufakatan jahat itu telah menghancurkan dan meluluhlantakkan konsep Trisakti Bung Karno dan Trilogi Pembangunan Pak Harto.
2. Berdikari dalam Bidang Ekonomi
Secara umum, konsep yang digagas Pak Harto ini membuat rakyat bisa membaca apa yang akan dilakukan pemerintahan dan program apa yang disosialisasikan karena rencana pembangunan dibuat secara terbuka dan dapat diketahui publik, sehingga publik dapat mengetahui apa isi Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, II, III, IV dan seterusnya, karena Konsep pembangunan Nasional menjadi landasan penentuan kebijakan politik, ekonomi dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara .
Di era Reformasi yang bergulir dengan menumbangkan Pak Harto pada tahun 1988, justru terjadi anomali, karena alih-alih adanya transparansi, justru rakyat buta terhadap pembangunan negeri ini, karena setiap kebijakan yang dibuat pemerintahan di era Reformasi membuat rakyat kaget dan memicu polemik tiada habis, seperti rencana pembangunan Tol Laut yang tak jelas bagaimana realisasinya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang pada akhirnya terbukti menjadi beban APBN, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur yang bermasalah dan tidak penting karena Jakarta masih layak menjadi ibukota negara, banjirnya tenaga kerja asing (TKA) asal China di tengah banyaknya anak bangsa butuh pekerjaan, dan lain sebagainya.
Belum lagi penerapan sistem outsourcing yang membuat buruh/pekerja menjadi tenaga kontrak seumur hidup, dan terbitnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang membuat buruh/pekerja makin terpuruk karena aturan yang ditetapkan berpotensi memunculkan perbudakan di era modern.
Bisa dibilang, era Reformasi justru menyeret Indonesia ke kegelapan, bukan membawanya pada kejayaan.
Marilah kita bandingkan kondisi ini dengan Trilogi Pembangunan yang diusung Pak Harto dengan Orde Baru-nya yang dicap sebagai Orde Otoriter dan militeristik yang tidak demokratis .
Berikut hasil Trilogi Pembangunan tersebut:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya tidak mungkin tercapai tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur dalam Trilogi Pembangunan Pak Harto harus dikembangkan secara selaras, serasi, terpadu, dan saling mengait.
Unsur-unsur dalam Trilogi pembangunan adalah:
A. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Artinya, pembangunan harus dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Tanah Air, serta hasil-hasilnya harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat secara adil dan merata.
Apa yang dimaksud dengan adil dan merata? Adil dan merata mengandung arti bahwa setiap warga negara harus menerima hasil-hasil pembangunan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan bagi yang mampu berperan lebih, harus menerima hasilnya sesuai dengan dharma baktinya kepada bangsa dan negara.
B. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, mengandung arti bahwa :
1. Pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari angka laju pertumbuhan penduduk;
2. Upaya mengejar pertumbuhan ekonomi harus tetap memperhatikan keadilan keadilan dan pemerataan; dan
3. Harus tetap dijaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dengan bidang-bidang pembangunan lainnya
C. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan itu:
1. Terdapat kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman, tentram, tertib yang tercipta karena berlakunya aturan yang di sepakati bersama
2. Dalam kondisi stabilitas nasional terdapat iklim yang mndorong berkembangnya kreativitas masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.
Didalam pelaksanaan pembangunan selalu diperhatikan asas pemerataan yang menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dengan melanjutkan, memperluas, dan memberikan kedalaman pada pelaksanaan delapan jalur pemerataan yang selama ini telah ditempuh pemerintah.
3. Berkepribadian dalam Kebudayaan
Warisan budaya bangsa harus dilestarikan dan nilai-nilai luhur masyarakat harus tetap dijaga.
Pada zaman Orde Baru kepribadian dalam kebudayaan diwadahi dengan P4 atau
Ekaprasetia Pancakarsa, artinya janji atau tekad yang bulat untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima sila Pancasila (Buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Ekaprasetya Pancakarsa) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Budaya gotong royong oleh pak Harto dilaksanakan di dalam kehidupan rakyat dalam bentuk yang menyejahterakan rakyatnya.
Program gotong royong antara lain tercermin pada program Posyandu, PKK, AMD (ABRI Masuk Desa) di mana dalam program ini ABRI bersama rakyat membangun desa, gotong royong dengan KUD (Koperasi Unit Desa), Puskesmas, SD Inpres, dan Kelompencapir dalam rangka membangun sektor pertanian .
Kesimpulan
Konsep Trisakti yang diaplikasikan oleh Pak Harto dalam Trilogi Pembangunan membawa Indonesia maju dengan berdaulat di bidang politik, ekonomi dan budaya. Konsep ini merupakan senergi antara pemikiran Bung Karno dan Pak Harto.
Sinergi pemikiran itu juga membuat Indonesia mampu swasembada pangan, menguasai teknologi yang ditunjukkan dengan kemampuan Indonesia membuat pesawat CN 25, dan mempunyai satelit Palapa yang bisa menyatukan wilayah di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Meruke, dari Miangas hingga Pulau Rote.
Konsep Trisakti yang diejawantahkan Pak Harto dengan Trilogi Pembangunan relevan dengan situasi ekonomi saat ini, terutama dalam konteks kemandirian ekonomi sebagaimana digagas Presiden Prabowo Subianto yang tampaknya terinspirasi oleh kedua konsep tersebut.
.
Oleh sebab itu, pola pembangunan Trilogi Pembangunan harus diteruskan untuk menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari keterpurukan yang kian dalam.
Dan itu artinya, Indonesia harus kembali berpegang pada UUD 1945 dan Pancasila, karena Trilogi Pembangunan berakar dari sana. (*)