Jakarta, Harian Umum - Aktivis pergerakan yang juga direktur Institut Soekarno Hatta, M Hatta Taliwang, menyebut ada tujuh alasan mengapa Indonesia harus kembali ke UUD 1945.
"Pertama, diturunkannya derajat MPR RI secara struktural dari Lembaga Tertinggi menjadi Lembaga Tinggi," kata Hatta melalui siaran tertulis, Jumat (26/7/2024).
Menurut dia, didegradasinya derajat MPR itu membuat kontrol terhadap presiden praktis tak ada. Padahal, kepala desa saja punya lembaga yang mengntrol.
"Itu menjelaskan mengapa presiden seakan suka-suka dan dampaknya seperti yang kita rasakan (sekarang). Akibat lemah atau tiadanya kontrol terhadap presiden, negara seolah cuma milik presiden, sehingga dapat mengeluarkan Perpu meskipun tak ada kegentingan memaksa," katanya
Selain itu, sambung Hatta, presiden juga dapat menggunakan kewenangan memanfaatkan atau mengeksploitasi koalisi besar dengan menggunakan kewenangannya di KPK dengan menjadikan pimpinan partai yang memiliki masalah hukum untuk disandera, lalu di ekspolitasi demi kepentingan subyektif presiden seperti untuk kepentingan membangun dinasti atau menggolkan UU orderan para pemodal. Bahkan untuk membangun dinasti.
2. Hilangnya GBHN sebagai dampak turunnya derajat MPR.
"Itu menjelaskan mengapa arah pembangunan suka-suka (presiden), ujug-ujug infrastruktur jadi primadona dan seolah mengikuti arah Jalur Sutra China dan terjebak utang besar, investasi ugal-ugalan di Rempang, IKN, KA cepat dan lain-lain. Dampak berikutnya utang negara demi investasi menjadi membumbung melampaui kemampuan rasional untuk membayar cicilan dan bunga secara rasional,' jelas Hatta.
Mantan anggota DPR dari Fraksi PAN itu mengungkap bahwa Misbakhun, anggota Komisi XI DPR dan lulusan terbaik Sekolah Akuntansi Negara ( STAN), menghitung bahwa Utang Negara tembus Rp20.750 triliun sampai pertengahan tahun 2023.
Utang itu terdiri dari Rp7.900 triliun adalah utang negara+ Rp8.350 utang BUMN + Rp 4.500 triliun kewajiban membayar pensiun para ASN dan TNI-Polri, sehingga estimasi totalnya ialah Rp20.750 triliun.
"Sementara dari utang negara saja kewajiban mencicil dan bunganya setiap tahun lebih kurang Rp1.000 triliun kata pak Jusuf Kalla. Ini menimbulkan resiko kebangkrutan negara, sehingga bila kita tidak kembali ke sistim pengelolaan negara menurut UUD 45 asli, khususnya pasal 33, maka dikawatirkan Indonesia akan berantakan oleh beban utang yang berat melebihi 100% dari PDB," kata Hatta.
3. Berubahnya sistem politik dari sistem demokrasi perwakilan ke sistem demokrasi langsung dengan segala dampaknya yang kita saksikan saat Pilpres.
"Sistem Pilpres Langsung yang sudah kita kupas tuntas kelemahan dan keburukannya di mana terjadi kecurangan masif, saling fitnah, pemborosan, penyogokan, perpecahan dan lain-lain," jelasnya.
Menghilangkan sistem PERWAKILAN MUSYAWARAH dalam Pilpres, sambung Hatta, berarti melenceng dari Sila ke 4 Pancasila. Sebab, hanya partai politik yang boleh mencalonkan presiden/Cawapres, tak melibatkan (Utusan Daerah dan Utusan Golongan menurut UUD 45 Asli). Sementara partai cenderung transaksional, sehingga melahirkan Capres/Cawapres hasil transaksi.
Dampak berikutnya, tokoh tokoh bangsa yang berkualitas tak ikut terjaring. Calon yang baik pun bisa dijegal oleh kekuatan pemodal.
"Besarnya biaya Pilpres langsung bukan hanya ditanggung negara, tapi ditanggung oleh partai pengusung dan pribadi Capres. Ini yg membuat Capres harus tergantung kepada investor politik dangan segala resiko dan akibatnya," imbuh Hatta.
Diakui, biaya sosial dan psikologis dari pemilihan langsung juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antarwarga kurang harmonis dan saling prasangka dan lain-lain. Rakyat terbelah berkepanjangan l, merusak kerukunan nasional dan sosial.
Berubahnya sistem politik dari sistem demokrasi perwakilan ke sistem demokrasi langsung juga menghancurkan Sila ketiga Pacasila, karena daftar pemilih bisa direkayasa dengan KTP Palsu dalam jumlah fantastik.
Sistem Pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa. Apalagi jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan.
Instrumen dimaksud seperti lembaga survei, akademisi, intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, Parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU , buzzer dan lain-lain. Intervensi itu tentu dengan iming-iming uang, janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum dan lain-lain.
"Semua itu bisa dilibatkan dalam konspirasi," kata Hatta.
Di sisi lain, aparat keamanan, aparat hukum dan birokrat yang mestinya netral, tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan-godaan di atas.
"Masih banyak lagi hal hal yang merusak, seperti penyogokan massif terhadap rakyat, balas budi kepada cukong yang membiayai dalam bentuk kebijakan-kebijakan setelah berkuasa dan lain-lain," sambung Hatta.
4. Masuknya azas kapitalisme liberalisme (azas efesiensi) dalam pasal 33 UUD 1945, sehingga ekonomi jadi kapitalis brutal yang dilegalisir dan dipraktekkan, antara lain dalam bentuk privatisasi BUMN.
Dampak lebih jauh dari masuknya azas kapitalisme liberalisme ini adalah kesenjangan ekonomi yang meningkat, penguasaan SDA oleh segelintir cukong, sehingga pribumi terpuruk, disahkannya UU Omnibuslaw, dan lain-lain.
5 Amandemen UUD 1945 dilakukan tergesa-gesa di saat krisis ekonomi politik sedang memuncak pada tahun 1999 hingga 2002, sehingga terkesan dibuat asal-asalan tanpa naskah akademik.
Akibatnya, batang tubuh UUD 1945 menjadi bertentangan dengan Pembukaannya yang merupakan abstraksi dari cita-cita kemerdekaan.
Amandemen juga dilakukan tanpa Grand Design, serta mengingkari frasa Indonesia memiliki "sistem demokrasi sendiri" dan frasa yg dirumuskan pendiri negara Prof Soepomo yg menyatakan "MPR itu adalah PENJELMAAN RAKYAT".
Menurut Prof Jimly, perubahan ayat pada UUD 1945 Asli sampai 300% saat diamandemen. Artinya, telah dibuat konstitusi baru. Sementara menurut Prof Kaelan, perubahan UUD 1945 hingga 97%. Artinya, sama dengan penggantian UUD 1945.
Prof Dr Maria Farida menyatakan, sesungguhnya Indonesia telah membuat Konstitusi baru yang bertentangan dengan pemikiran para founding fathers and mothers.
"Lalu sekarang orang bertanya; benarkah pejabat dan aparat saat pelantikan bersumpah atas nama UUD 1945?" kata Hatta.
6. Bertumbuh dan berkembangnya nilai budaya liberal (individualis, materialis, konsumtif, hedonis, pamerisme/ exibithionisme) membuat budaya Indonesia terguncang dan terjadi pengabaian atas nilai nasionalisme, ketahanan nasional, nilai kekeluargaan, nilai gotong royong dan lain-lain.
"Manusia Indonesia kehilangan jati dirinya," jelas Hatta.
7.Banyak bibit-bibit bangsa yang cemerlang, bibit-bibit bangsa yang bagus, sering tak terurus dengan baik di dalam KEBUN INDONESIA.
Banyak orang pintar tidak pada tempatnya, dan banyak kader bangsa tak pada posisi yang benar. Sebaliknya, banyak orang kurang bermutu justru menempati posisi-posisi penting.
"Itulah urgensi mengapa selalu disuarakan agar sistem kenegaraan kita dibenahi, sistem kepartaian direvolusi, sistem birokrasi kita dibereskan," kata Hatta.
Output perorangan banyak yang bagus, banyak yang menjadi kaya raya, bahkan super kaya raya, menjadi profesor, doktor, jenderal dan lain-lain, tapi output kita sebagai bangsa dan negara (output kolektif sebagai bangsa/negara), dipertanyakan. Cukup bandingkan dengan Malaysia dari berbagai segi. Padahal, dalam banyak hal tadinya Malaysia belajar dari Indonesia.
"Semua itu diduga bukan semata karena pemimpin yang buruk, tapi juga sistem kenegaraan kita yang buruk. Padahal, potensi kita untuk menjadi bangsa terhormat dan hebat sangat mungkin mengingat potensi SDA dan manusia Indonesia yang luar biasa," jelas Hatta.
Ia bahkan menyebut, saat ini bibit bangsa banyak yang bagus, tetapi hanya berkontribusi maksimal untuk diri sendiri, keluarga atau perusahaan. Sedang kan untuk negara juga dipertanyakan.
"Malah banyak yang berkontribusi negatif dengan melakukan korupsi berjamaah, melakukan kolusi dan nepotisme, bahkan menjadi agen kepentingan asing.
Karena itulah menjadi urgen kita kembali ke sistem yang diwariskan pendiri negara, yakni UUD 1945 yang asli," pungkas Hatta.
Seperti diketahui, amandemen UUD 1945 hingga empat kali pada tahun 1999-2002 telah dianggap melahirkan UUD baru yang disebut UUD 2002, karena batang tubuh UUD hasil revisi itu berbeda dengan batang tubuh UUD 1945 yang asli. Namun, UUD 2002 itu tetap disebut sebagai UUD 1945.
UUD 2002 bukan hanya dinilai telah merusak sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia, tetapi juga dianggap sebagai UUD ilegal karena tidak tercatat di lembaran negara dan tidak dikuatkan dengan Tap MPR.
Penyebutan UUD 2002 sebagai tetap UUD 1945 bahkan membuat UUD hasil amandemen itu dicap sebagai UUD palsu.
Sudah cukup banyak elemen yang menginginkan agar MPR memberlakukan kembali UUD 1945 Asli, tetapi alih-alih mendengarkan aspirasi itu, MPR justru ingin mengamandemen lagi UUD itu untuk yang kelima kali.
Namun, saat menemui Presiden Jokowi pada 28 Juni 2024 lalu, MPR melaporkan bahwa pihaknya (MPR periode 2019-2024) tidak bisa melakukan amandemen tersebut karena masa kerja yang tinggal 3 bulan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, diharapkan MPR periode 2024-2029 yang akan dilantik pada awal Oktober 2024 yang akan melakukan amandemen kelima tersebut. (rhm)