Jakarta, Harian Umum - Presidium Forum AKSI (Alumni Kampus Seluruh Indonesia) Juju Purwantoro mengeritik keras kebijakan Presiden Joko Widodo memberi fasilitas Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun di Ibukota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur.
Ia menilai, fasilitas yang diatur dalam Peraturan Presiden (Pepres) No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tersebut bahkan lebih parah dibanding aturan HGU di era penjajahan Belanda.
"Pemerintah tetap ngotot dan ambisius memaksakan pembangunan IKN, meski sebenarnya di luar kemampuan dan nalar sehat," kata Juju melalui siaran tertulis seperti dikutip Jumat (26/7/2024).
Ia membeberkan, di tengah kondisi pembangunan yang belum tuntas, belum adanya investor asing yang masuk sehingga menjadi beban APBN, dan wilayah yang terus menerus diguyur hujan, Jokowi tetap akan menggelar upacara kemerdekaan RI 2024 di sana.
"Salah satu kebijakannya yang irrasional dan panik akibat belum adanya investor asing yang masuk adalah mencoba menarik investor dengan menerbitkan Pepres No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN di mana di dalamnya ada kebijakan yang sangat janggal dan melukai rasa keadilan masyarakarat, yakni adanya pasal yang mengatur tentang pemberian fasilitas HGU atas tanah kepada Investor selama 190 tahun, dan dapat dipahami diperpanjang kembali," katanya.
Kebijakan tersebut, jelas Juju, berbenturan dan melanggar UUD 1945 serta UU Pokok Agraria.
"Di era penjajahan (kolonial) Belanda sekalipun kepemilikan HGU tanah dibatasi hanya 75 tahun. Apakah rezim saat ini memang lebih kejam dari era penjajah Belanda kepada rakyatnya, dengan akan menggadaikan tanah air ini kepada Oligarki?" kritik Juju keras.
Praktisi hukum senior yang juga politisi ini meyakini, meski tanah IKN telah "diobral' seperti itu investor tidak juga berbondong-bondong berinvestasi di IKN, karena dipengaruhi oleh masih carut-marut dan tumpang tindihnya aturan akibat pembuatan peraturan yang tidak sesuai hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana terjadi penerbitan Perpres Nomor 75 tersebut.
Dampak lebih jauh dari pelanggaran itu adalah kekhawatiran investor tentang keamanan investasinya jika ditanamkan di IKN.
"Karena pelanggaran-pelanggaran itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia," imbuh Juju.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sementara UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan! kepemilikan hak tanah antara lain berdasarkan perorangan maupun badan hukum, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak yang sifatnya sementara.
Hak milik dibatasi oleh negara di mana untuk rumah tinggal oleh perseorangan tidak lebih dari 5.000 m2.
Sementara untuk warga negara asing, sesuai Permen ATR/BPN No. 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, menyatakan batasan tanahnya lebih kecil dari rumah tinggal hak milik WNI, yaitu hanya 2.000 m2.
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
Hak Guna Bangunan (HGB), adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Yang dapat mempunyai HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
'Investor tentu secara rasional dalam berinvestasi akan mempertimbangkan masalah hukum, ekonomi dan stabilitas sosial politik di suatu negara. Stabilitas politik di Indonesia saat ini masih sangat tidak stabil, penuh demokrasi kepura-puraan kepada rakyatnya. Karena dibangun atas dasar demokrasi yang semu, sehingga tidak ada jaminan bagi stabilitas politik di Indonesia saat ini dan ke depannya. Tidak tertutup kemungkinan pada era Prabowo Subianto, rencana dan kebijakan pembangunan IKN ditinjau kembali," beber Juju.
Ia tegas mengatakan proyek IKN sudah semestinya dibatalkan.
"Karena tidak realistis di tengah kondisi krisis ekonomi Indonesia dan utang negara yang semakin membengkak dan mencekik," pungkas politisi Partai Ummat ini. (rhm)