Jakarta, Harian Umum - Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sembilan karyawan swasta.
Pasalnya, UU yang terbit di era Presiden Joko Widodo alias Jokowi itu mengubah ketentuan pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), sehingga uang pesangon, uang pensiun, tabungan hari tua (THT) dan jaminan hari tua (JHT) dikenai pajak, sementara perubahan pasal 17 UU PPh dalam UU HPP membuat uang pesangon/pensiun dikenai pajak progresif.
Gugatan terhadap pasal 4 ayat (1) UU PPh jo UU HPP dan pasal 17 UU PPh jo UU HPP ini dimohonkan sembilan karyawan swasta dan diregistrasi pada Jumat (10/10/2025) sebagai perkara dengan 186/PUU-XXIII/2025.
"Menyatakan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juncto Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Pasal 28D ayat (1) tentang kepastian hukum yang adil, Pasal 28H ayat (1) tentang hak hidup sejahtera, serta Pasal 34 ayat (2) tentang jaminan sosial, sepanjang dimaknai bahwa uang pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT adalah tambahan kemampuan ekonomis," tulis permohonan dalam gugatannya.
Para pemohon meminta MK menyatakan pengenaan pajak terhadap uang pesangon, uang pensiun, THT dan JHT, serta pengenaan pajak progresif terhadap uang pesangon dan uang pensiun, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
"Memerintahkan Pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas uang pensiun/pesangon/THT/JHT bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta," imbuhnya.
Mereka juga meminta agar MK memerintahkan pembentuk undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR, untuk menyesuaikan sistem perpajakan dengan konstitusi yang menjanjikan kesejahteraan hidup, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.
Sebelumnya, pengenaan pajak terhadap uang pesangon, uang pensiun, JHT dan THT juga digugat dua karyawan swasta bernama Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dan sidang perkaranya yang diregistrasi dengan nomor 170/PUU-XXIII/2025 digelar pada 6 Oktober 2025.
Dalam dalil pemohon yang dibacakan kuasa hukumny, yakni Ali Mukmin, kedua penggugat mengatakan bahwa pesangon dan pensiun adalah penghasilan yang dikumpulkan bertahun-tahun, sehingga tak selayaknya disamakan dengan obyek pajak, terlebih diberlakukan progresif.
"Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja, tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” tegas Mukmin dalam sidang pemeriksaan pendahuluan.
Mereka juga meminta agar MK menyatakan bahwa Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD 1945. (man)