Jakarta, Harian Umum - Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) M Rico Sinaga mengharapkan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi jangan sekali-kali melupakan sejarah ( jasmerah) terkait pelaksanan sidang paripurna istimewa.
Pasalnya, hingga hari ke-17 sejak setelah Anies Baswedan-Sandiaga Uno dilantik menjadi gubernur dan wagub DKI Jakarta periode 2017-2022 pada 16 Oktober lalu, Prasetio masih keukeuh ogah melaksanakan sidang paripurna istimewa dengan alasan tidak diatur dalam Tata Tertib (Tatib) DPRD.
"Prasetio jangan lupakan sejarah waktu menetapkan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menjadi gubernur menggantikan Jokowi. Waktu itu dia nekat mendukung Ahok walau empat pimpinan DPRD lainnya melakukan penolakan," kata Rico di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2017).
Menurut Rico, waktu itu empat parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) kompak menolak Ahok menduduki kursi DKI-1. Namun atas support sejumlah aktivis yang dimotori Amarta membuat Prasetio percaya diri menggelar sidang paripurna istimewa penetapan Ahok.
"Prasetio harus ingat, saat KMP memboikotnya, aktivis tetap melakukan pembelaan terhadap dia," ujar Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.
Kekisruhan di seputar pelantikan Ahok bermula dari keputusan Ahok keluar dari Partai Gerindra karena tak sepakat dengan langkah Gerindra mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Maklum, karier politik Ahok sejak awal dibangun dengan sistem pilkada langsung oleh rakyat. Namanya belum tentu muncul di panggung nasional apabila pilkada dilakukan oleh DPRD.
Oleh karena kader harus menaati semua keputusan partai, dan Ahok tak mau taat terhadap keputusan Gerindra mendukung UU Pilkada yang mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke tangan DPRD, sebagai konsekuensi ia memutuskan angkat kaki dari partai besutan Prabowo Subianto itu. (
Sikap Ahok tersebut dianggap Gerindra sebagai wujud tak tahu berterima kasih. Apalagi, Gerindra lah yang mengantarkan Ahok menuju kursi wakil gubernur Jakarta dalam Pilkada Jakarta 2012. Tak pelak Ahok dan Gerindra bersitegang. Ketegangan itu terbawa sampai saat ini, ketika Ahok sudah waktunya dilantik menjadi gubernur.
Gerindra dan mitra koalisinya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menolak pelantikan Ahok hingga Mahkamah Agung megeluarkan fatwa. Sementara Koalisi Indonesia Hebat dan Kementerian Dalam Negeri ingin pelantikan Ahok tak ditunda-tunda.
Prasetio Edi Marsudi yang berasal dari Fraksi PDIP, tetap menggelar rapat paripurna istimewa dan mengumumkan Ahok sebagai Gubernur Jakarta meski ditentang oleh KMP. Ia tak peduli meski keempat wakilnya, yang berasal dari KMP, tak menghadiri rapat tersebut. Ia juga tak ambil pusing walau paripurna itu diboikot oleh KMP.
KMP DPRD DKI Jakarta pun mengirim surat kepada Presiden Jokowi guna meminta penundaan pelantikan Ahok sebagai gubernur sampai ada rekomendasi hukum dari MA. Mereka juga berencana mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait surat DPRD DKI Jakarta kepada Jokowi dengan alasan cacat prosedural, hendak berkonsultasi ke MA untuk meminta kejelasan hukum, dan berniat berkonsultasi ke DPR RI.
Terlepas dari pro-kontra di seputar rencana pelantikan Ahok, Presiden Jokowi memutuskan untuk melantik Ahok pada 19 November 2014 di Istana Negara, Jakarta Pusat. Ini sesuai dengan Pasal 163 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pelantikan kepala daerah oleh presiden di ibukota negara.
Menurut Rico, sikap keras kepala Prasetio yang tidak mau melaksanakan sidang paripurna istimewa berpotensi menggembosi suara PDIP pada Pemilu 2019 mendatang.
"Sikap Prasetio juga membuat rekan-rekan alumni GMNI kecewa berat," pungkas Rico.(rhm)