Jakarta, Harian Umum - Dalam kesaksiannya dipersidangan untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong. Mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera Deniarto Suhartono mengakui bahwa perusahaan yang dipimpinnya tersebut fiktif. Perusahaan yang sahamnya dimiliki keluarga Setya Novanto itu ternyata hanya dibuat untuk mengikuti lelang proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang ditawarkan Kementerian Dalam Negeri.
"Iya (fiktif). Saya sebetulnya juga tidak begitu setuju yang mulia," ujar Deniarto kepada majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/11/2017).
Kepada majelis hakim, Deniarto mengatakan, pembentukan PT Murakabi melalui akta notaris. Mayoritas saham Murakabi dimiliki PT Mondialindo Graha Perdana. Adapun saham PT Mondialindo dimiliki oleh putra Novanto, Reza Herwindo, dan istri Novanto, Deisti Astriani.
Sedangkan Saham PT Murakabi dimiliki putri Novanto, Dwina Michaela, dan keponakan Novanto, Irvanto Hendra Pambudi. Irvan juga diangkat sebagai direktur di PT Murakabi.
Namun, meski tercatat dalam akta notaris, nilai saham-saham tersebut fiktif. Masing-masing pemegang saham tidak pernah menyetorkan modal kepada PT Murakabi.
Saat mengikuti lelang proyek e-KTP, PT Murakabi mencantumkan dokumen yang menjelaskan bahwa seolah-olah PT Murakabi memiliki modal aktiva sebesar Rp 20 miliar.
Proyek Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau yang biasa disebut e-KTP dimulai Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana, pada tahun 2011-2012. Anggaran untuk proyek ini mencapai Rp5,9 triliun.
Nama nama besar lerlibat dalam kasus besar ini mulai dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang saat itu menjabat anggota Komisi II DPR, hingga Menkumham Yasonna Laoly, yang dulu juga duduk di komisi sama, disebut-sebut ikut menerima suap dalam kasus dugaan korupsi e-KTP ini.
Ganjar disebut menerima US$520.000 atau Rp7 miliar. Sementara Yasonna disebut menerima US$84.000 atau Rp1,1 miliar. Menteri Dalam Negeri kala itu, Gamawan Fauzi, menerima lebih US$4,5 juta atau lebih Rp60 miliar.
Kebanyakan nama yang disebut Jaksa adalah politisi DPR; mantan ketua DPR Marzuki Ali Rp20 miliar, Anas Urbaningrum US$5,5 juta (Rp74 miliar), Teguh Djuwarno US$167.000 (Rp2,2 miliar), Arief Wibowo US$108.000 (Rp1,4 miliar).
Bahkan ketua DPR Setya Novanto (saat itu adalah ketua fraksi Golkar) bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, menerima salah satu 'bagian' terbesar yaitu Rp574 miliar.(tqn)