Jakarta, Harian Umum - Kejaksaan Agung (Kejagung) menggeledah rumah saudagar minyak Mohammad Riza Chalid terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, sub-holding dan kontraktor kontrak kerja sama pada periode 2018-2023.
Riza ditengarai terlibat kasus yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun tersebut.
"Yang pasti satu aja bocoran; ada kita geledah di rumahnya Muhammad Riza Chalid. Hari ini nanti Pak Kapus yang akan menyampaikan itu," kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Abdul Qohar saat jumpa pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menerangkan penggeledahan saat ini tengah berlangsung di dua lokasi di wilayah Jakarta Selatan.
"Penggledahan sedang dilakukan saat ini untuk penggeledahan yang keempat di Jalan Jenderal Sudirman, Kemudian yang kedua di Jalan Jenggala Kebayoran Baru," katanya.
Ia menyebut, penggeledahan dilakukan sejak Senin (24/2/2025) malam di tujuh rumah tersangka yang di antaranya berlokasi di Bintaro, Tangerang, Banten.
Dari penggeledahan itu, penyidik Kejagung menyita dokumen-dokumen, laptop hingga ponsel.
"Penggeledahan yang didapat semalem antara lain tentu penyidik menemukan dokumen dan barang elektronik berupa laptop dan handphone," jelas Harli.
Berikut tujuh tersangka kasus ini, dimana 4 di antaranya merupakan petinggi PT Pertamina Patra Niaga yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina, dan tiga lainnya merupakan pihak swasta.
Mereka adalah:
1. RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
2. SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
3. YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping;
4. AP, selaku selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International;
5. MKAR selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa;
6. DW, selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;
7. GRJ, selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak;
Perkara ini bermula ketika pada periode 2018-2023 pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.
PT. Pertamina kemudian diwajibkan untuk mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun ternyata, tersangka RS, SDS, dan AP, diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Hasil rapat dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga hasil produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.
Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.
Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak dengan alasan produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).
Produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Padahal, faktanya minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.
Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka. Di mana SDS, AP, RS, dan YF selaku Penyelenggara Negara telah memgatur kesepakatan harga dengan broker, dalam hal ini tersangka MK, DW, dan GRJ.
Mereka sudah mengatur harga untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara.
"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Kemudian RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Dilanjutkan dengan DM dan GRJ yang melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) padahal syarat belum terpenuhi.
Namun hal itu malah disetujui oleh SDS untuk impor minyak mentah dari RS untuk impor produk kilang. RS, lanjutnya, diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali.
Selain itu, penyidik juga menemukan adanya dugaan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor yang dilakukan oleh tersangka YF. Sehingga, negara perlu membayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.
"Sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.
Berkat serangkaian perbuatan para tersangka tersebut juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN. (man)