Jakarta, Harian Umum - Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah menilai, kebijakan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada ribuan orang, khususnya kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto merupakan pola Berpolitik Tiki Taka.
Pola berpolitik seperti ini adalah pola menyerang dalam politik yang dilakukan dalam koordinasi apik dan saling mengunci, layaknya gaya bermain sepak bola klub Barcelona di era Pep Guardiola.
'Dua kebijakan tersebut (memberikan amnesti dan abolisi) merupakan rangkaian dari “operasi diam-diam” Prabowo untuk membebaskan diri dari bayang-bayang Jokowi dan pada saat yang sama, memperkuat posisi tawarnya terhadap PDIP dan elemen-elemen nasionalis yang selama ini terpinggirkan," kata Amir di Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Menurut dia, dengan menerapkan pola berpolitik seperti itu, menunjukkan bahwa Prabowo tidak sedang bermain politik satu lawan satu, melainkan pola berpolitik yang multi-lapis, sistemik, dan terukur.
"Seperti tiki-taka di sepakbola: bola berpindah terus, pemain bergerak tanpa bola, dan lawan akhirnya terkunci. Dalam konteks ini, Jokowi dan Gibran perlahan-lahan akan kehilangan ruang gerak,” imbuhnya.
Amir mengakui kalau pemberian abolisi kepada Tom Lembong oleh Prabowo mengejutkan banyak pihak. Dikenal sebagai figur yang selama ini kritis terhadap kebijakan ekonomi oligarki dan pernah berselisih pandang dengan kalangan Jokowi, pengampunan terhadap Tom menandakan keberanian politik Prabowo mengambil alih narasi rekonsiliasi, namun dengan arah yang ditentukan sendiri.
Sementara pemberian amnesti untuk Hasto yang menjadi terdakwa kasus suap kepada komisioner KPU, menurut Amir,, memperlihatkan jalinan benang merah antara Istana dan PDIP yang mulai dijahit ulang, kali ini oleh tangan Prabowo, bukan Jokowi.
"Langkah ini sangat strategis. Dengan membebaskan dua tokoh dari dua kutub berbeda, yakni Tom dari kubu teknokrat dan Hasto dari kubu nasionalis, Prabowo sedang membuka dua front sekaligus. Ia memberi ruang dialog kepada kekuatan-kekuatan politik lama sambil memberi tekanan kepada kekuatan yang saat ini sedang memudar: Jokowi dan Gibran," bener Amir.
Pengamat senior ini menyoroti peran Sufmi Dasco Ahmad, wakil ketua DPR yang juga ketua harian DPP Partai Gerindra yang menurut dia menjadi “dirigen” dari politik tiki-taka yang dimainkan Prabowo ini. Menurut Amir, Dasco lah yang mengatur ritme politik: kapan menyerang, kapan mengumpan, dan kapan harus menekan lawan ke pojok lapangan.
“Dasco memainkan irama permainan politik ini dengan cermat. Dia tahu kapan harus memberi sinyal ke PDIP, kapan membuka ruang buat tokoh-tokoh sipil seperti Tom, dan kapan membiarkan isu-isu liar seperti ijazah Jokowi terus bergulir tanpa dibendung,” katanya.
Salah satu indikasi kontrol ritmis ini, jelas Amir, terlihat dalam pembiaran isu ijazah Presiden Jokowi terus mengemuka di ruang publik dengan tanpa ada bantahan tegas dari Gerindra atau partai koalisi. Amir menyebut ini bukan kelalaian, melainkan “jebakan diam”.
Amir bahkan meyakini, dengan mengunci arah politik PDIP lewat Hasto dan membiarkan Jokowi “mati langkah” dalam merespons isu hukum dan moral, posisi Wapres Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak sulung Jokowi, akan semakin terjepit.
Ia menggarisbawahi satu dinamika penting, yakni wacana pemindahan kantor Gibran ke Ibu Kota Nusantara (IKN) yang justru didorong oleh sebagian elite istana sendiri.
“Ini bukan sekadar pemindahan administratif, ini bentuk pengasingan simbolik. Ketika pusat kekuasaan politik masih ada di Jakarta, Gibran akan seperti pemain yang dikeluarkan dari lapangan tapi belum diganti," katanya.
Amir bahkan menganalisa adanya sisi gelap dari kebijakan pemberian abolisi dan amnesti ini, yakni potensi pemakzulan Gibran. Ia menyebut bahwa antara September hingga Desember 2025 akan terjadi “fase kritis” di mana kekuatan parlemen dan publik bisa dipersiapkan untuk mempersoalkan legitimasi Gibran, dari isu usia hingga potensi pelanggaran etik.
“Ini bukan gerakan frontal. Ini gerakan perlahan namun pasti, sistematis. Saya menduga, dalam misi khusus yang ditugaskan oleh Prabowo kepada Dasco, ada semacam kesepakatan strategis antara Prabowo dan Megawati untuk membuka kembali jalur kekuasaan kepada kekuatan sipil-nasionalis — dengan syarat Prabowo tetap di atas angin,” tegas Amir.
Langkah Prabowo menghidupkan kembali alat politik seperti abolisi dan amnesti tidak hanya soal pengampunan, tapi juga penguncian lawan dan pembentukan aliansi baru. Politik Indonesia, menurut Amir Hamzah, tidak lagi linier dan sederhana.
"Saat ini kita memasuki babak baru politik pelambatan, penguncian, dan penyergapan ala tiki-taka. Yang dikunci bukan hanya individu, tapi jaringan, narasi, dan aliran logistik kekuasaan. Dan Prabowo berhasil menjadi pelatih sekaligus kapten di lapangan permainan ini,” pungkas Amir. (man)







