Jakarta, Harian Umum- Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, meminta Gubernur Anies Baswedan segera mengganti Sekda Saefullah.
"Kinerja dia buruk. Lagipula pengangkatan dia oleh Gubernur Jokowi pada 11 Juli 2014 merupakan sebuah bencana birokrasi, karena diangkat dalam posisi bukan sebagai pejabat senior di lingkungan Pemprov DKI," katanya kepada harianumum.com, Sabtu (5/5/2018).
Lebih detil dijelaskan, sejatinya, seorang Sekda diangkat saat usianya lima tahun menjelang memasuki masa pensiun, sehingga begitu satu periode pemerintahan daerah selesai, maka selesai pula tugasnya.
"Tapi yang terjadi pada Saefullah adalah, dia lahir pada 1964, namun pada usia 50 tahun sudah diangkat sebagai Sekda. Akibatnya, dia baru bisa turun jabatan 10 tahun setelah dilantik atau setelah melalui dua periode pemerintahan karena pada saat itulah dia baru memasuki masa pensiun," jelasnya.
Aktivis yang akrab disapa SGY ini mengakui, saat Saefullah diangkat, sebetulnya ada beberapa pejabat senior yang lebih layak menduduki jabatan Sekda, di antaranya mantan walikota Jakarta Utara yang juga mantan Asisten Sekda Bidang Kesejahteraan Rakyat Bambang Sugiyono; mantan walikota Jakarta Pusat yang juga mantan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Sylviana Murni; dan mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Arie Budiman.
SGY mengaku tak mengerti apa alasan Jokowi yang saat ini menjabat sebagai presiden RI ke-7, pada 2014 memilih Saefullah sebagai Sekda, namun melihat kecenderungan Saefullah menjadi seorang Ahoker di era pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, membuat dirinya yakin pengangkatan itu bukan karena kualitas.
"Semua orang sudah tahu lah kalau mutasi pejabat di era pemerintahan Jokowi-Ahok yang katanya melalui mekanisme Lelang Jabatan, cuma kedok, karena faktanya adalah lebih cenderung pada unsur like and dislike. Tak heran jika pada 2012-2016, di era Gubernur Jokowi-Ahok, opini yang diberikan BPK atas pengelolaan keuangan daerah sekali mendapat disclaimer dan tiga kali WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Ambruk dibanding di era Gubernur Fauzi Bowo yang sempat mendapatkan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian," jelasnya.
Tak hanya itu, di era Jokowi-Ahok pula muncul kasus- kasus dugaan korupsi yang menyedot perhatian publik, seperti pembelian bus untuk armada busway dari China yang sudah karatan, dan beberapa di antaranya bahkan terbakar saat dioperasikan; kasus pembelian uninterruptible power supply (UPS) yang membuat dua pejabat DKI dan anggota DPRD dikerangkeng Bareskrim Polri; pembelian lahan RS Sumber Waras yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp191 miliar; dan pembelian lahan Dinas Kelautan di Cengkareng yang merugikan keuangan daerah sebesar Rp668 miliar.
Soal buruknya kinerja Saefullah, jelas Sugiyanto, antara lain tercermin dari ketidakmampuannya meredam pertikaian Ahok dengan DPRD terkait APBD 2015.
"Soal APBD itu, secara kasat mata Ahok salah karena mengirimkan APBD hasil buatan Pemprov DKI sendiri ke Kemendagri, bukan yang sudah disahkan dalam sidang paripurna DPRD. Bila Saefullah memang berkualitas, dia seharusnya berjuang meluruskan Ahok, namun yang terjadi dia malah mendukung Ahok habis-habisan. Malah dia bilang, kalau Ahok dilengserkan melalui Hak Angket, dia juga akan lengser. Pejabat apa yang justru membela mati-matian pejabat yang melanggar aturan perundang-undangan?" tanyanya.
Tak hanya itu, di era Ahok penyerapan APBD sangat rendah, rata-rata di kisaran 60%.
"Jadi, apa yang dikerjakan Saefullah saat itu? Padahal posisi Sekda merupakan pejabat penting ketiga dalam struktur pemerintahan setelah gubernur dan Wagub. Seharusnya dia jangam cuma "yes bos" atau "oke bos", karena Jakarta bukan punya Ahok, tapi milik semua penduduk yang berada di dalamnya," tegas SGY.
Ketika ditanya apakah tidak mungkin sikap dan orientasi Saefullah telah berubah karena kepemimpinan di Jakarta telah beralih ke Anies-Sandi? SGY menjawab "mungkin saja".
"Tapi yang jadi poin krusial di sini adalah, rata-rata Sekda hanya menjabat di satu periode pemerintahan, tapi Saefullah bisa dua periode. Padahal kinerjanya sama sekali tidak menonjol," tegasnya.
Ia pun menyarankan agar Gubernur Anies Baswedan melakukan diskresi dengan mengusulkan untuk mengganti Saefullah ke Presiden.
"Banyak yang mendesak Anies agar segera mencopot semua Ahoker dari jajaran pejabat di lingkungan Pemprov DKI, dan saya setuju itu. Apalagi karena Presiden Geprindo kan bilang kalau sampai sekarang para Ahoker itu masih berkomunikasi dengan Ahok, meski si Ahok itu sekarang mendekam di Rutan Mako Brimob karena kasus penistaan agama," pungkasnya.
Untuk diketahui, Sekda merupakan unsur pembantu pimpinan pemerintahan derah yang bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, Sekda bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Sekda diangkat dari pegawai negeri sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan. Karena kedudukannya sebagai pembina PNS di daerahnya, maka Sekda dapat disebut sebagai jabatan paling puncak dalam pola karier PNS di daerah.
Saat Ahok bertikai dengan DPRD terkait APBD 2015, sehingga DPRD melakukan interpelasi, namum batal menggunakan Hak Angket, Saefullah mengeluarkan pernyataan yang cukup membuat syok orang-orang yang mengenalnya dengan baik.
Inilah yang dikatakan pria yang lahir di Sungai Kendal, Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, itu:
"Untuk persoalan APBD ini, saya sekali lagi tegaskan, saya taat pada gubernur, karena apa yang Beliau bicarakan tiap hari. Makin dekat saya dengan dia (Ahok), karena yang didengungkan itu kebenaran yang universial. Ini yang saya dukung. Kalau dengan angket (dari DPRD), Beliau lengser, saya juga siap lengser," katanya pada 18 Februari 2015. (rhm)