Jakarta, Harian Umum- Pengamat kebijakan publik Amir Hamzah mengkritik cara Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangani kasus dugaan korupsi pada penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) Pulau C dan D yang merupakan pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta.
Pasalnya, penyidik Polda berencana memeriksa semua gubernur DKI Jakarta dari era Presiden Soeharto hingga Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan dalih karena proyek reklamasi dimulai sejak era Orde Baru.
"Polisi sepertinya sengaja melebarkan perkara ini dari fokus yang selama ini disidik, untuk melindungi kepentingan pihak tertentu," katanya kepada harianumum.com di Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Ia mengingatkan bahwa reklamasi yang dilakukan pengembang saat ini berbeda dengan yang diamanatkan Keppres No 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikeluarkan di era Presiden Soeharto.
Pasalnya, Keppres ini menentukan bahwa proyek reklamasi dilakukan dengan mengurug pantai hingga sejauh 8 meter ke arah laut.
"Tapi yang dilakukan pengembang saat ini adalah mengurug laut untuk membuat pulau. Ini hal yang berbeda," tegasnya.
Selain hal tersebut, pengamat yang telah puluhan tahun malang melintang di Ibukota ini juga mengingatkan bahwa dugaan korupsi pada penetapan NJOP Pulau C dan D terjadi di era Ahok, tapi mengapa gubernur-gubernur lain yang tak ada hubungannya dengan kasus itu, ikut diperiksa?
"Apa relevansinya?" tanya dia.
Amir menyarankan agar polisi fokus saja pada persoalan yang tengah diselidiki dan tidak melebar kemana-mana, namun tak ada relevansinya.
"Jangan seperti orang merendam karet dengan minyak tanah. Karetnya memang melebar, tapi daya ikatnya tidak ada," tegasnya.
Meski demikian pengamat yang juga ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini menyarankan, jika pun polisi ingin menyeret kasus ini kemana-mana, hendaknya dibuatkan jadwal siapa saja yang akan diperiksa, dan kapan.
"Siapkan juga pertanyaan yang masuk akal dan tidak mengada-ada," sindirnya.
Seperti diketahui, penetapan NJOP Pulau C dan D diduga berindikasi korupsi karena NJOP pulau hasil reklamasi PT Kapuk Naga Indah itu, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta pada 23 Agustus 2017, ditetapkan hanya sebesar Rp3,1 juta/m2.
Angka ini mencurigakan karena mengacu pada harga tanah di Kepulauan Seribu yang berada di seberang lautan, sangat jauh dari kedua pulau tersebut, sementara jika dilihat dari posisinya, meski kedua pulau itu belum ditetapkan berada di kelurahan dan kecamatan mana di Jakarta Utara, posisi kedua pulau itu berada dalam wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, dimana harga tanah di wilayah itu sebesar Rp11 juta-Rp14 juta/m2.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, pemeriksaan seluruh gubernur dari era Orde Baru hingga Ahok, dilakukan karena penyidik ingin mendalami apa dan bagaimana awal mula reklamasi Jakarta.
"Ini soal administrasi, itu kan semua ya mantan gubernur nanti diperiksa. Kan sudah dari zaman Pak Soeharto itu ya namanya reklamasi," katanya seperti dilansir liputan6.com, Kamis (1/3/2018).
Ia mengakui kalau pemeriksaan itu dilakukan karena penyidik belum menemukan adanya pelanggaran administrasi atau malaadministrasi dalam kasus ini, meski puluhan saksi telah dimintai keterangan.
Saksi yang telah diperiksa di antaranya Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Pemprov DKI Jakarta Benni Agus Candra, dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov DKI Jakarta Edy Junaedi.
Selain itu, penyidik Polda juga telah memeriksa Ahok di Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, tempat dimana mantan gubernur itu ditahan karena kasus penistaan agama.
Menurut data, selain Ahok yang menjabat pada 2014-2017, gubernur-gubernur yang akan diperiksa adalah Sutiyoso (1997-2002 dan 2002-2007), Fauzi Bowo (2007-2012), dan Jokowi (2012-2014).
Amir menambahkan, sebenarnya tak terlalu sulit bagi Polda untuk menuntaskan kasus ini, karena kasus suap pembahasan Raperda reklamasi yang ditangani KPK ketiga terdakwanya, antara lain mantan ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, telah divonis.
"Polda bisa minta berkasnya di Pengadilan Topikor, dan tinggal dibaca serta dipelajari apa keterangan terdakwa, saksi-saksi, tuntutan jaksa dan amar putusan majelis hakim. Saya yakin ada petunjuk di situ yang membuat polisi dapat menarik kesimpulan siapa yang bertanggung jawab dalam penetapan NJOP tersebut," pungkasnya. (rhm)