Jakarta, Harian Umum- Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, mencuatnya kasus kartu tanda penduduk elektonik (KTP-el) yang ditimbun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di gudang lembaga itu di Semplak, Bogor, Jawa Barat, bisa rawan menimbulkan pemilih siluman pada penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Pasalnya, meski Kemendagri mengklaim KTP-el sebanyak 508.000 keping itu rusak atau invalid, namun ada banyak kejanggalan di balik kasus yang terungkap setelah satu dus dan seperempat karung KTP-el jatuh dari truk pengangkutnya, dan berceceran di Jalan Raya Sawangan, Depok, dan Jalan Raya Salabenda, Semplak, Bogor, Sabtu (26/5/2018) lalu tersebut.
"Ya, rawan (menimbulkan pemilih siluman) karena KTP-el itu bisa saja digunakan untuk mencoblos, dan petugas di TPS sulit untuk mengetahui apakah KTP-el itu invalid atau tidak kalau kondisinya terlihat baik," kata dia dalam dialog di TVOne, Rabu (30/5/2018).
Menurut pasal 348 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditentukan bahwa warga yang namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), tetap dapat memilih dengan hanya menunjukkan KTP-el miliknya kepada petugas di TPS.
Rahmat mengakui, meski UU ini juga menetapkan bahwa pemilik KTP-el yang namanya tidak tercantum di DPT dan DPTb hanya boleh mencoblos di tempat yang sesuai dengan alamat pada KTP-el tersebut pada pukul 12.00-13.00, namun fakta yang terjadi pada pelaksanaan Pilkada serentak 2017, Pilkada Serentak 2015 dan Pemilu 2014, banyak pemilik KTP-el yang tidak tercantum di DPT dan DPTb yang mencoblos di luar tempat tinggalnya.
"Tapi dibanding pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019, yang lebih rawan penggunaan KTP-el asli tapi palsu atau KTP-el ganda adalah pelaksanaan Pilkada serentak 2018, karena untuk Pileg dan Pilpres 2019, warga yang tidak tercantum di DPT dan DPTb harus sudah melapor ke KPU atau KPUD 14 hari sebelum hari H pencoblosan. Kalau tidak lapor, dia tidak bisa ikut mencoblos," jelasnya.
Kalau untuk Pilkada, lanjut dia, warga yang namanya tidak tercantum di DPT dan DPTb bisa langsung ke TPS, tapi hanya dapat mencoblos pada pukul 12.00-13.00.
Hal senada dikatakan pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, dalam acara yang sama. Dia bahkan menyebut kalau sampai sekarang masih ada pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri yang keukeuh mengatakan bahwa warga pemilik KTP-el tidak boleh mencoblos di luar tempat domisilinya, berarti dia pejabat yang tidak pernah turun ke lapangan dan tak tahu persoalan di lapangan.
"Pada Pemilu yang lalu, bahkan di TPS di kompleks DPR ada pemilik KTP-el dari Maluku, Indramayu, nyoblos di situ," katanya.
Pengamat ini juga mencurigai adanya sesuatu yang tidak sehat di balik penimbunan 508.000 keping KTP-el di gudang Kemendagri di Semplak, Bogor, Jawa Barat, yang diklaim rusak oleh lembaga negara itu.
Pasalnya, ia mengendus sejumlah kejanggalan, seperti bahwa Kemendagri mengklaim kalau penimbunan telah dilakukan sejak 2013, tapi baru sekarang dirusakkan agar tidak dapat dipergunakan lagi dengan cara digunting bagian ujung kanan atasnya, setelah kasus penimbunan ini heboh.
Selain hal itu, ia juga merasa miris karena di saat masih ada jutaan warga Indonesia belum memiliki KTP-el dengan alasan blankonya habis dan lain-lain, tapi di sisi lain ada 508.000 KTP-el yang dinyatakan rusak oleh Kemendagri dan ditimbun di Bogor.
KTP-el yang ditimbun dan dinyatakan rusak pun ternyata dari berbagai daerah, tak hanya dari Sumatera Selatan sebagaimana yang ditemukan berceceran di Depok dan Bogor.
Padahal, kata dia, warga yang hingga kini belum memiliki KTP-el mengalami banyak kesulitan ketika mengurus dokumen penting, termasuk ketika mengurus BPJS.
"Karena itu kami ingin Bawaslu juga turun tangan untuk mengusut benar tidak sih KTP-el yang ditimbun itu rusak atau invalid? Datanya ril atau tidak? Karena di acara ILC (Indonesia Lawyer Club) kan terungkap ada warga Sumatera Selatan yang KTP-el miliknya dinyatakan termasuk yang ikut digudangkan, tapi ternyata dia memiliki KTP-el. Artinya, telah terjadi KTP-el ganda," katanya.
Menanggapi hal ini, Rahmat mengatakan bahwa Bawaslu masih harus berkonsultasi dengan Komisi II DPR, namun dari data yang diungkapnya, diketahui kalau saat ini masih sekitar 4 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki KTP-el, dan dari jumlah itu 35% di antaranya bermukim di Papua. (rhm)