Jakarta, Harian Umum - Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno, diminta menelisik pemasukan asli daerah (PAD) yang diduga banyak bocor di era Gubernur Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan Djarot Saiful Hidayat.
"Potensi kebocoran PAD di era Jokowi, Ahok dan Djarot sangat besar, termasuk di bidang reklame dan pajak hiburan," tegas Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) kepada harianumum.com di Jakarta, Rabu (25/10/2017).
Ia menjelaskan, di bidang reklame, pemberlakuan Pergub No 244 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggara Reklame yang kemudian diubah dengan Pergub No 148 Tahun 2017, menghapus reklame konvesional dan menggantinya dengan reklame LED (LED-nisasi).
Perubahan sistem ini tak hanya membuat PAD dari sektor reklame anjlok dari rata-rata Rp1,5 triliun per tahun di era Gubernur Fauzi Bowo, menjadi di bawah Rp1 triliun per tahun atau tak ter-collected rata-rata sekitar 30%, namun juga menimbulkan potensi kebocoran PAD yang luar biasa.
Pasalnya, pengenaan pajak hanya pada spot dimana reklame LED terpasang, tapi perusahaan-perusahaan yang beriklan di LED itu tidak ikut dikenai pajak, sehingga PAD dari perusahaan-perusahaan pemasang iklan itu nol.
"Coba hitung berapa PAD yang hilang dari para pemasang iklan itu kalau pada satu iklan LED ada 10 pemasang iklan, dan spot reklame LED misalnya ada 100," kata dia.
Kebocoran parah juga terjadi dari pajak hiburan yang dananya ditarik dari hotel, restoran dan lain-lain.
Kata Rico, di era Gubernur Fauzi Bowo, pajak hiburan di-collect dengan sistem online, dan waktu itu belum maksimal karena dari seluruh perangkat yang dipasang, yang beroperasi maksimla hanya sekitar 48%.
"Di era Gubernur Jokowi, disusul Ahok dan Djarot, komputer sistem online itu (diduga) dibuat hang, sehingga tidak beroperasi sama sekali dan penarikan pajak hiburan kembali dilakukan secara manual seperti di era Gubernur Sutiyoso. Padahal sistem itu dibuat untuk meningkatkan PAD!" tegasnya.
Rico menilai, kebocoran PAD juga terindikasi dari pemberian kompensasi oleh pengembang akibat kelebihan koefisien lantai bangunan (KLB). Pasalnya, dana kompensasi itu tidak disetorkan Ahok ke kas daerah, tapi digunakan untuk membangun simpang susun Semanggi dengan dana sekitar Rp345 miliar.
"Kebocoran juga diduga terjadi dari adanya dana-dana CSR (coorporate social responsibility) dari pengembang yang masuk ke Yayasan Ahok tapi juga tidak dimasukkan ke kas daerah," imbuh Rico.
Dana berangka triliunan itu antara lain digunakan untuk membangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman.
"Karena itu Anies-Sandi harus menelisik kebocoran-kebocoran itu agar hal seperti ini tak terulang di masa depan, dan PAD dapat meningkat. Bayangkan jika dana yang hilang itu dapat diselamatkan dan kemudian digunakan untuk membiayai program-program Anies-Sandi yang prorakyat," pungkasnya. (rhm)