Jakarta, Harian Umum - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dinilai telah melakukan pelanggaran kelas tinggi dengan mengabulkan uji materil pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dimohonkan . mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (Unsa) Almas Tsaqibbirru, dan putusan perkara nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu pun dinilai tidak sah.
Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan bahwa batas minimal usia Capres/Cawapres adalah 40 tahun, tetapi dengan dikabulkannya uji materil Almas, maka orang yang berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, juga bisa menjadi Capres/Cawapres meski belum berusia 40 tahun
Hal ini terungkap dalam dialog bertajuk "Lima Dari Sembilan Hakim MK, Termasuk Ketua MK Anwar Usman, Mengkhianati Konstitusi Demi Gibran: Revolusi di Depan Mata?" yang diselenggarakan UI Watch dan Petisi 100 di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2023).
Acara ini menghadirkan tiga orang pembicara, yakni anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara, Guru Besar Hukum Tatanegara Denny Indrayana yang hadir secara daring, dan Director Managing Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan.
Moderator acara ini adalah Dewan Pakar Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL) H. Mursalin
Menurut Marwan, MK melakukan pelanggaran tingkat tinggi dengan mengabulkan gugatan Almas, karena pengabulan itu terindikasi demi kepentingan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang didorong-dorong menjadi calon wakil presiden (Cawapres) di usianya yang baru 36 tahun.
Gibran bahkan pada 7 Oktober 2023 lalu dideklarasikan kelompok relawan Jokowi yang menamakan diri Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi) sebagai Cawapres Prabowo Subianto.
"Yang dilakukan MK ini pelanggaran tingkat tinggi atau sangat fatal, karena menyangkut pelanggaran terhadap hal yang sangat strategis, yakni konstitusi, amanat reformasi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 (tentang Pemerintahan Yang Bersih dan Benas KKN)," katanya.
Selain itu, Marwan juga menyebut MK melakukan pelanggaran tingkat tinggi karena putusannya mengabulkan gugatan Almas telah melanggar prinsip-prinsip pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sebab, yang berwenang merubah norma pada UU Pemilu adalah DPR, bukan MK.
"Karena itu, dalam menyikapi putusan itu kita jangan terjebak hanya pada persoalan KKN yang melibatkan Jokowi dan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi, karena putusan MK itu diterima lima hakim, termasuk Anwar Usman, dan ditolak empat hakim. Jadi, dalam putusan ini bukan sekedar adanya conflict of interest tetapi secara kelembagaan MK juga telah melakukan pelanggaran etika," katanya.
Maka, menurut dia, sudah waktunya untuk bicara lebih jauh, karena saat ini rakyat sudah tidak bisa lagi berharap dari MPR/DPR/DPD agar kesalahan tingkat tinggi MK ini dikoreksi, apalagi untuk melaksanakan amanat pasal 7A UUD 945 terkait pemakzulan terhadap presiden Jokowi.
Terkait adanya conflict of interest dalam putusan MK terhadap gugatan Almas yang diregistrasi sebagai perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, diungkap Denny Indrayana.
Guru besar hukum tatanegara yang juga praktisi hukum itu menilai, conflict of interest itu muncul karena putusan MK diduga kuat merupakan upaya Anwar Usman untuk memberi jalan kepada Gibran untuk menjadi Cawapres.
"Pada 27 Agustus 2023 saya telah secara resmi mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman karena tidak mundur dari menangani perkara terkait syarat umur Capres-Cawapres. Surat pengaduan itu sayangnya hingga kini tidak juga mendapatkan tanggapan, apalagi diperiksa. Sekali lagi, seharusnya dengan logika hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara syarat umur capres-cawapres," katanya.
Namun, lanjut dia, karena putusan perkara nomor 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Anwar Usman, yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya, Joko Widodo dan (anaknya) Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya adalah putusan 90 harus dinyatakan TIDAK SAH.
"Di samping pelanggaran benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional,' imbuhnya.
Ia menyebutkan cacat dimaksud, yakni Almas tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan itu wajarnya dinyatakan tidak diterima.
"Kalaupun diterima legal standingnya, permohonan seharusnya dinyatakan gugur, karena gugatan sudah ditarik oleh Pemohon, meskipun kemudian dibatalkan lagi penarikan tersebut. Hal mana menunjukkan pemohon mempermainkan kehormatan MK, sebagaimana secara jelas diargumenkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat," katanya.
Denny mengingatkan, bahwa jika putusan MK atas perkara nomor 90 itu dijadikan sandaran untuk menjadi Capres/Cawapres, maka akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Paslon dalam Pilpres 2024.
'Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan TIDAK SAH," tegasnya.
Sementara Anthony Budiawan mengingatkan bahwa pemerintah dibentuk untuk melaksanakan undang-undang dan konstitusi. Maka, jika pemerintah melanggar konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi lah yang mengoreksi.
"Lalu yang terjadi sekarang adalah Mahkamah Konstitusi digunakan pemerintah untuk melanggar konstitusi, dan Profesor Dr Denny Indrayana mengatakan, ini untuk yang kesekian kalinya. Jadi, bagaimana?" tanyanya.
Ia pun membongkar teori filsuf John Locke tentang demokrasi.
Menurut dia, John Locke mengatakan bahwa kalau pemerintah telah melanggar konstitusi dan rakyat berhak mengganti pemerintahan. Kalau pemerintah tidak mau diganti, maka hal rakyat adalah mengganti pemerintah walau mesti melalui jalan revolusi.
"Jadi, menurut John Locke, revolusi adalah sah untuk menurunkan pemerintahan yang melanggar konstitusi," tegasnya. (rhm)