Jakarta, Harian Umum - Ratusan ribu karyawan dan karyawati televisi swasta bakal kehilangan pekerjaan jika DPR memutuskan untuk memilih opsi single mux operator yang ditawarkan pemerintah dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran.
"Saat ini televisi swasta bisa menghidupi setengah juta karyawan. Jika DPR memutuskan untuk memilih single mux operator, maka karyawan-karyawan itu akan kehilangan pekerjaan. Ini ancaman pengangguran yang serius," ujar Neil Tobing, Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dalam diskusi bertajuk "RUU Penyiaran, Demokrasi dan Masa Depan Media" di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (21/10/2017).
Dalam diskusi itu terungkap kalau single mux operator meniadakan peran swasta dalam bisnis penyiaran yang pada 2020 mendatang telah menggunakan sistem digital. RUU Penyiaran sendiri yang merupakan pengganti UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, bakal menjadi landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.
Jika single mux operator ditetapkan dan diberlakukan, maka bisnis penyiaran akan dikelola pemerintah melalui Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) yang nantinya akan dibentuk. Lembaga ini bakal menjadi satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital di Indonesia.
Dengan menawarkan skema ini, pemerintah mengklaim akan dapat menghasilkan penerimaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang jauh lebih besar dari hasil penyewaan kanal dan infrastruktur yang dikelola oleh LPP RTRI.
Meski demikian, Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo menilai, karena RUU ini dibahas dan akan disahkan 2 tahun sebelum Pilpres 2019, ia menilai kalau pembahasan RUU ini sarat dengan kepentingan politis. Apalagi karena DPR periode ini (2014-2019), menurutnya, bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan Dewan Perwakilan Partai-partai, sehingga pembahasan RUU ini pun hanya dilihat dari kepentingan partai.
"Nasib industri penyiaran kini terancam," tegasnya.
Luthfi Andi Mutty, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi NasDem, mengakui bahyanya skema single mux operator.
"Bisnis penyiaran ini menggunakan ranah publik, sehingga kehadiran negara dibutuhkan untuk mengatur. Tapi tidak boleh memonopoli. Tetap harus berkeadilan. Kalau pemerintah memonopoli, demokrasi kita setback lagi ke era sebelumnya (Orde Baru, red) dimana bisnis media begitu dikendalikan, dan semua informasi hanya bersumber dari pemerintah," katanya.
Luthfi mengaku kalau saat ini fraksinya merupakan pihak yang memilih skema multi mux operator yang tetap melibatkan peran swasta seperti yang berlaku saat ini, begitu juga dengan beberapa fraksi lain.
"Tapi memang saat ini jumlah fraksi yang memilih single mux dengan multi mux seimbang, sehingga pembahasan untuk sementara dipending, tapi targetnya tahun ini RUU telah disahkan," imbuhnya.
Dari diskusi ini juga terungkap kalau single mux operator pernah dicoba sejumlah negara, namun gagal, sehingga negara-negara itu kini menganut skema multi mux. (rhm)