Jakarta, Harian Umum - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS terus menurun dan pada penutupan perdagangan Jumat (14/6/2024), rupiah terkoreksi tajam hingga 142 poin atau 0,87% dari penutupan Kamis, dan bertengger di level Rp16.412/dolar AS.
Investing bahkan melaporkan, pada hari itu rupiah bergerak di kisaran Rp16.283 hingga Rp16.487 per dolar AS.
Dalam perdagangan pekan ini, menurut Bloomberg, rupiah telah terkoreksi 1,33%.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, bila rupiah terus melemah terhadap dolar AS, masyarakat sebagai konsumen akan melihat harga-harga barang melonjak.
Bahkan, pengusaha sebagai produsen pun bakal ikut pusing karena banyak bahan baku yang masih diimpor ikut naik.
"Tentu saja kalau terjadi pelemahan akan membuat barang barang impor lebih mahal. Artinya, ini akan akibatkan ekonomi biaya tinggi bagi konsumen dalam negeri yang membeli barang impor naik. Ini juga akan dirasakan industri yang impor bahan baku dari luar negeri," kata Faisal kepada detikcom, Minggu (16/6/2024).
Ia menyebut beberapa sektor yang rentan mengalami inflasi di tengah melemahnya nilai tukar rupiah, yakni sektor farmasi yang memproduksi obat-obatan; sektor otomotif yang memproduksi kendaraan; dan sektor elektronik yang memproduksi handphone, laptop, dan lain sebagainya.
"Yang rawan itu yang paling besar ketergantungan impornya. Selama ini kan obat-obatan farmasi, industri manufaktur, seperti otomotif dan elektronik juga lumayan banyak bahan baku dan industri penolongnya," jelas Faisal.
Industri tekstil juga kemungkinan akan terdampak, karena masih banyak kapas sebagai bahan baku yang diimpor.
Industri pangan juga akan terpukul akibat banyak sekali bahan baku pangan yang masih diimpor, antara lain kedelai.
Hal yang sama dikatakan Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda.
Menurut dia, menguatnya kurs dolar AS terhadap rupiah akan membuat harga barang-barang di Indonesia makin mahal. Secara khusus dia menyoroti harga energi, utamanya bahan bakar minyak (BBM).
Dia mengingatkan bahwa selama Indonesia masih getol impor minyak dari luar negeri. Bila harganya terus melonjak karena dipengaruhi kurs dolar AS, bisa-bisa subsidi BBM dipangkas dan ujungnya harga BBM akan melonjak.
"Imported inflation meningkat, harga BBM biasanya yang akan dikorbankan," beber Nailul Huda ketika dihubungi detikcom.
Bila inflasi tinggi di tengah masyarakat, Nailul Huda mengatakan hal ini akan menggerus daya beli masyarakat. Bisa-bisa pertumbuhan ekonomi melambat dan kemiskinan merajalela di Indonesia.
"Inflasi dalam negeri akan naik signifikan. Daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat. Kemiskinan akan semakin meningkat," katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan dampak melemahnya nilai tukar ke APBN bisa membuat pengeluaran pemerintah makin bengkak. Beberapa di antaranya misalnya untuk belanja pemerintah yang kental dengan kebutuhan impor, seperti misalnya belanja energi hingga pertahanan.
Pemerintah juga harus membayar cicilan utang yang selama ini banyak menggunakan nilai mata uang dolar, plus bunganya.
Hal ini membuat ruang fiskal anggaran negara jadi makin mengecil. Pada ujungnya belanja pemerintah untuk memacu sektor ekonomi riil atau pelayanan publik bakal makin tipis.
"(Belanja) APBN jadi lebih bengkak karena asumsi dolar AS dipakai untuk belanja pemerintah yang terkait impor dan cicilan utang serta bunga menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang," kata Esther. (rhm)