KOLABORSI SEHAT sebagaimana diatur dalam RUUPN akan melahirkan sistem yang berkadilan bagi usaha kecil, menengah maupun besar, karena berlandaskan pada Pancasila.
--------------------
Oleh: Yudhie Haryono dan Agus Rizal
Presidium Forum Negarawan - Ekonom Universitas MH Thamrin
Tidak ada negara Pancasila tanpa gotong-royong, tidak ada kita tanpa kolaborasi. Gotong-royong, kolaborasi dan kerjasama yang sehat adalah kita. Itulah operasi dan meta-kerja negara Pancasila. Kalaulah ada persaingan usaha, itu hanya mungkin jika bersaing secara sehat. Dus, persaingan sehat adalah fondasi dari ekonomi nasional yang berkeadilan.
Dalam Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional (RUUPN), gagasan ini tidak berhenti pada jargon “kompetisi bebas”, tetapi menjadi prinsip dasar penyelenggaraan ekonomi Pancasila. Pemerintah diberi mandat untuk memastikan bahwa setiap pelaku usaha, baik besar maupun kecil, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh tanpa dibatasi oleh praktik monopoli, kartel, oligopoly, mafia atau dominasi pasar yang merugikan warga negara.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara sistem ekonomi liberal yang melepas pasar begitu saja dan sistem ekonomi nasional yang mengatur pasar agar adil. Persaingan sehat bukan tentang siapa yang paling kuat, tetapi tentang sistem yang paling adil.
Negara hadir bukan untuk mematikan inisiatif, melainkan untuk menjaga keseimbangan agar pasar tidak dikuasai oleh segelintir kelompok. RUU Perekonomian Nasional menegaskan bahwa negara wajib menciptakan mekanisme pengawasan, perlindungan, dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, kompetisi menjadi instrumen untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi, bukan alat untuk menindas usaha kecil dan menengah.
Secara teoretis, ekonomi yang sehat hanya mungkin lahir dari pasar yang bersih dan transparan. Ketika harga, informasi, dan akses sumber daya dapat diakses secara terbuka, pelaku usaha berkompetisi berdasarkan kemampuan dan kualitas produk, bukan karena kedekatan dengan kekuasaan. Karena itu, kebijakan persaingan sehat dalam RUUPN juga memuat dimensi moral dan etika bisnis. Prinsip ini mencerminkan semangat ekonomi Pancasila: efisiensi tanpa eksklusi, pertumbuhan tanpa keserakahan: semua menuju kesetaraan dan pemerataan.
Dalam konteks global, tekanan ekonomi pasar bebas telah mendorong banyak negara berkembang jatuh dalam jebakan oligopoli. Di Indonesia, kecenderungan serupa dapat terlihat dari dominasi segelintir perusahaan besar di sektor pangan, energi, dan digital. Bila dibiarkan, hal ini akan menciptakan ketimpangan struktural yang mengancam kedaulatan ekonomi nasional.
Karena itu, RUUPN menjadi instrumen politik-ekonomi untuk mengembalikan keseimbangan. Negara tidak lagi sekadar wasit, tetapi penjaga moral pasar yang memastikan keadilan sosial ekonomi tetap hidup.
Kebijakan persaingan sehat juga merupakan bentuk perlindungan terhadap pelaku usaha kecil, menengah, dan koperasi. Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional yang rentan tersingkir jika pasar dibiarkan tanpa aturan. Pemerintah melalui RUUPN ini wajib memastikan bahwa regulasi, perizinan, dan pembiayaan tidak memihak kelompok kuat saja.
Tak pelak, prinsip “equal opportunity and treatment” bukan sekadar wacana, melainkan perintah moral dan konstitusional. Setiap warga negara berhak bersaing dalam pasar nasional dengan adil dan bermartabat.
Secara praktis, pelaksanaan persaingan sehat membutuhkan institusi yang kuat dan independen. Komisi Persaingan Sehat, Komisi Harga, dan lembaga pengawas energi sebagaimana diusulkan dalam naskah akademik RUUPN akan menjadi penopang integritas pasar nasional.
Lembaga-lembaga ini harus berfungsi bukan sebagai alat politik, tetapi sebagai benteng hukum yang mengawal keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Di sinilah letak implementasi konkret dari sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
RUUPN juga secara tegas bertujuan mencegah praktik predator capitalism dan private market yang selama ini melahirkan ketimpangan ekstrem antara pemilik modal besar dan pelaku usaha kecil. Predator capitalism—yakni sistem ekonomi yang menelan kompetitor lemah melalui akumulasi kekuasaan ekonomi—bertentangan dengan roh Pancasila yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan sebagai orientasi utama.
Sementara private market yang eksklusif dan tertutup menyalahi prinsip keterbukaan ekonomi nasional. Karena itu, RUUPN ini menjadi pagar ideologis agar pasar tetap tunduk pada kepentingan publik, bukan pada kekuasaan modal.
Pada akhirnya, kebijakan persaingan sehat adalah jantung dari demokrasi ekonomi Indonesia. Tanpa keadilan dalam arena ekonomi, demokrasi kehilangan makna sosialnya. Tanpa gotong-royong, adanya gotong-nyolong. Tanpa kolaborasi, adanya dominasi. Tanpa kerjasama, adanya penindasan.
Maka, tidak ada jalan lain, pemerintah harus berani menegakkan aturan, menindak penyalahgunaan kekuasaan pasar, dan melindungi hak setiap pelaku usaha untuk tumbuh. Dengan cara ini, ekonomi Indonesia tidak hanya kuat dan modern, tetapi juga manusiawi, berdaulat, dan berpihak pada kesejahteraan bersama.(*)