PILPRES LANGSUNG sebagai hasil amandemen UUD 1945 pada praktiknya mengandung unsur manipulasi dan rawan sengketa akibat praktik curang demi memenangkan pasangan calon tertentu.
---------------------------
Oleh : M.Hatta Taliwang
Mahasiswa S3 Ilmu Politik, mantan anggota DPR/ MPR RI
Pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung telah lama dipersoalkan karena terbukti tidak mampu menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Bahkan sebaliknya; alih-alih mendapatkan presiden yang memiliki kapasitas, memiliki integritas dan kompeten, yang dihasilkan justru presiden yang dapat dikendalikan pihak-pihak tertentu dan membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, akan tetapi menguntungkan asing.
Pilpres langsung ini merupakan aturan baru yang muncul setelah amandemen UUD 1945 pada tahun 2019-2002 yang mengganti seluruh batang tubuh konstitusi, dan menjerumuskan Indonesia ke sistem liberal yang bertentangan dengan Pancasila.
Dari hasil penelitian dan pengkajian kami terhadap Pilpres 2014 dan 2019, tak hanya sebelum dan saat pelaksanaan Pilpres terjadi manipulasi dan kecurangan, melainkan juga pasca Pilpres, dan semua itu tak hanya merugikan rakyat, akan tetapi juga merugikan bangsa dan negara.
Berikut penjabaran yang merupakan kelanjutan dari bagian pertama tulisan ini:
15. Setelah presiden terpilih melalui Pilpres langsung, berdasarkan kajian kami terjadi hal-hal berikut:
15.1. Tahun pertama sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai-partai yang dianggap bukan pendukung rezim, diobrak abrik atau dijinakkan dengan segala cara, mulai dari terjadi persekongkolan atau bangun oligarki, yang berujung pada diselewengkannya kepentingan rakyat.
15.2. Tahun kedua, mulai meraba-raba program apa yang mau dikerjakan yang bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak seperti misalnya revolusi mental, nation and character building dan lain-lain disingkirkan meskipun dipidatokan dalam kampanye, seakan sinetron kejar tayang yang bisa membuat rakyat kagum. Dipilih program praktis, misalnya Kartu Sehat, dan yang paling mudah adalah infrastruktur, sekalipun dengan menggunakan dana pinjaman dengan bunga besar atau menggunakan dana yang tidak semestinya, seperti menggunakan dana haji, dana pensiun dan lain-lain. Itu sekedar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN.
15.3. Tahun ketiga, mulai membangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yang bersifat konsolidasi untuk terpilih pada Pilpres 2019 dan menjadi presiden untuk periode kedua
15.4.Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding untuk Pilpres 2019 sudah mulai muncul. Praktis, setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang terangan. Beberapa program seperti Raskin, Bansos dan lain-lain diolah menjadi modal politik petahana.
Dengan kata lain, sistem Pilpres langsung menghasilkan Presiden yang praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali dan menjadi presiden untuk periode berikutnya, sementara kinerja jeblok, apalagi untuk menjalankan program jangka panjang yang bersifat membangun fondasi kuat agar negara bisa kokoh.
Membangunpun dengan menggunakan metode gali lobang tutup lobang, sehingga banyak negara yang baru merdeka saja pertumbuhannya mampu melewati Indonesia yang terseok seok akibat tumpukan utang dan presiden yang bekerja bukan karena kapasitas, integritas dan kompetensi. Padahal, membangun yang mudah dan tampak oleh rakyat seperti infrastruktur misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yang berat untuk pemerintahan berikutnya.
Inilah proses menuju kebangkrutan jika sistem ini dilanjutkan.
16. Penilaian atas prestasi presiden pada lima tahun pertama tidak lagi di depan MPR RI. Artinya, diserahkan langsung ke rakyat pemilih, sementara rakyat pemilih banyak yang awam dan seringkali terbawa arus tipuan Timses, lembaga survei dan lain-lain, sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Jadi, sesungguhnya rakyat tak merasa menilai prestasi presiden pada periode pertama kepemimpinannya.
Namun, tiba-tiba yang bersangkutan bisa menjadi Capres lagi pada Pilpres 2019. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab.
17. Sengketa Pilpres dengan membawa bertruk-truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa dengan cermat oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK), apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum yang punya "catatan gelap" dalam karirnya, dan dijanjikan jabatan tinggi atau yang setara, baik sebelum maupun setelah pensiun, oleh salah satu Capres yang menang atau dimenangkan.
18. Negara sebesar Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, penduduk ratusan juta jiwa dengan berbagai latar belakang suku, agama dan lain-lain, melakukan Pilpres langsung sesungguhnya merupakan eksperimen demokrasi yang luar biasa, karena dalam sistem ini mudah terjadi kecurangan, dan hampir pasti hanya calon dari suku yang besar jumlahnya yang bisa jadi presiden.
19. Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD '45 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua Parpol, semua Ormas dan lain-lain melakukan pemilihan dengan Demokrasi Perwakilan, musyawarah mufakat (voting hanya untuk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dengan dijiwai hikmah kebijaksanaan.
Tak ada Parpol atau Ormas yang mengundang semua pemegang kartu anggota untuk datang ke bilik suara dan memilih ketua umumnya. Sayang, kultur yang hidup dalam masyarakat kita, yaitu perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan tersebut kok ujug-ujug Pilpres-nya menganut sistem one man one vote di mana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 guru besar. Akal sehat itu di mana ?
20. Karena sistem Pilpres langsung berbiaya tinggi atau mahal, maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti oleh orang-orang kaya atau yang di-backingi orang kaya. Siapa mereka itu?
Artinya, hanya kelompok tertentu yang dapat menjadi peserta Pilpres. Silakan pikirkan baik-baik, karena saat ini, untuk Pilpres yang akan datang (2029) telah muncul satu nama yang dengan berani menyatakan akan nyapres, yaitu konglomerat Hary Tanoesoedibjo, dan kemudian muncul pula nama mantan Menteri BUMN Erick Thohir. Peluang kedua orang ini besar karena pasti akan didukung oligarki kapital, karena antara mereka dengan oligarki kapital tentunya punya ikatan emosional mengingat mereka punya latar belakang etnis yang sama.
Saya percaya akan segera bermunculan nama-nama yang lain dari jejaring orang kaya atau yang didukung oligarki kapital. Rakyat tak punya pilihan, kecuali jika sistem Pilpres langsung dikembalikan ke Demokrasi Perwakilan.
20. Kalau mau jujur, sistem Pilpres Langsung yang diduga diintervensi pemodal alias oligarki kapital atau bandar, hsilnya hanya dinikmati oleh segelintir aktor yang terlibat dalam skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan lima tahun, sehingga inilah yang bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan periode kedua, bahkan periode ketiga. Ini sangat mempengaruhi tensi Pilpres, sehingga suhu politik selalu tinggi dan rawan keributan.
SARAN :
Kalau masih ingin memilih presiden secara langsung dan tak mau kembali ke UUD 1945 asli dengan konsekuensi menyelenggarakan Pilpres Perwakilan melalui MPR, maka sebaiknya lakukan langkah-langkah berikut:
1. Anggota KPU ditambah dari unsur Parpol peserta Pemilu. Sistemnya, anggota KPU non Parpol digaji negara sementara anggota KPU dari unsur Parpol diberi honor oleh Parpol-nya. Susunan keanggotaannya seperti yang diusulkan Sdr Chris Komari.
2. Intelijen Negara tidak boleh beroperasi untuk memenangkan calon tertentu.
3. Lembaga survei harus netral dan ada lembaga lain yang dibentuk untuk menilai obyektivitas lembaga survei, mungkin bisa dibentuk semacam LEMBAGA PENGAWAS SURVEI POLITIK.
4. Media massa, khususnya televisi dan media mainstream yang dimiliki atau pro kepada salah satu Capres, tidak boleh menggunakan ruang udara publik demi partainya/Capres-nya secara berlebihan.
5. Opini intelektual/akademisi harus obyektif, kecuali intelektual/akademisi yang secara formal tercatat sebagai Tim Sukses/Tim Kampanye.
6. Diharamkan menggunakan jasa buzzer dan mesin mesin/robot yang merusak kejernihan suara rakyat. Mesti ada tim pengawas khusus dari KPU atau aparat hukum terhadap perilaku buzzer atau penggunaan mesin robot.
7. Tidak diperbolehkan adanya GABUNGAN PARTAI PENDUKUNG. Capres cukup diusung satu partai. President Threshold 0 persen.
8. KPU harus benar-benar netral, tidak boleh ada tangan-tangan gelap ikut mengarahkan. Soal DPT jangan ngarang-ngarang dengan menghitung orang gila, KTP haram dari pendatang luar negeri atau KTP fiktif, desa fiktif, TPS fiktif, laporan fiktif dan lain-lain. Aparat hukum dan keamanan harus serius mengontrol hal ini.
9. Bawaslu dan DKPP bekerjalah serius, jangan mau ditekan oleh institusi lain yang punya kepentingan memenangkan calon tertentu. Bawaslu harus diperkuat.
10. KPK jangan seperti lembaga politik, pilih pilih tersangka menjelang Pilpres/Pemilu.
11. Kita mengenal frasa Kepolisian Negara, bukan Kepolisian Pemerintah/Rezim. Jadi, tentu kita berharap Kepolisian netral dalam gelaran Pilpres/Pemilu. Demi kebaikan bersama, konsentrasi saja pada keamanan Pilpres/Pemilu.
12. TNI terkenal dengan kemanunggalan dengan rakyat. Maka, dalam Pilpres/Pemilu sungguh-sungguh bersama rakyat, bukan manunggal dengan Pemerintah/Rezim, sementara rakyat dikorbankan.
13. Kejaksaan dan ASN sebagai bagian dari Pemerintah hendaknya jangan jadi alat dengan ikut memenangkan partai atau Capres tertentu. Jika memang menjadi aparat yang baik, rezim apapun yang berkuasa, Tuan tetap bisa mendapat jabatan dan peran.
14. Hakim-hakim Mahkamah Konstitusi katanya negarawan. Jika memang benar begitu, negarawan berpikir jauh ke depan untuk kemajuan dan kebaikan rakyat, bangsa dan negara, bukan bekerja untuk kemajuan keluarga. Jadi, dalam mengambil keputusan dan proses pengadilan, bersungguh-sungguhlah jujur dan adil demi hari depan bangsa dan negara.
15. Hasil penghitungan suara di TPS yang ditandatangani anggota KPPS, yang di antaranya juga ada anggota partai PESERTA Pemilu, harus dianggap final di TPS, atau maksimal diselesaikan di tingkat kecamatan. DARI KECAMATAN LANGSUNG DIKIRIM KE KPU PUSAT. Tembusan dikirim ke DPP partai masing masing, juga ke KPUD Kabupaten/ Propinsi. Dengan teknologi yang ada sekarang, semua bisa dibuat cepat dan transpsran.
Demikian, sebagai harapan kami untuk keselamatan rakyat, bangsa dan negara. Demi kebaikan dan kemajuan Indonesia. (*)







