PILPRES LANGSUNG tidak mendatangkan kebaikan bagi bangsa Indonesia, bahkan pengalaman dan fakta membuktikan bahwa Pilpres model ini lebih banyak mendatangkan mudharat.
----------------------------
Oleh : M.Hatta Taliwang
Mahasiswa S3 Ilmu Politik, mantan anggota DPR/ MPR RI
Pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung telah lama dipersoalkan karena terbukti tidak mampu menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Bahkan sebaliknya; alih-alih mendapatkan presiden yang memiliki kapasitas, memiliki integritas dan kompeten, yang dihasilkan justru presiden yang dapat dikendalikan pihak-pihak tertentu dan membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, akan tetapi menguntungkan asing.
Pilpres langsung ini merupakan aturan baru yang muncul setelah amandemen UUD 1945 pada tahun 2019-2002 yang mengganti seluruh batang tubuh konstitusi, dan menjerumuskan Indonesia ke sistem liberal yang bertentangan dengan Pancasila.
Dari hasil penelitian dan pengkajian kami, berikut kelemahan-kelemahan, bahkan keburukan Pilpres langsung:
1. Peran Partai/DPR terlalu dominan dalam membuat aturan main Pemilu/Pilpres.
Meskipun ada DPD RI sebagai repsentasi daerah, akan tetapi tak punya peran dalam menyusun aturan main Pemilu/Pilpres. Organisasi seperti Muhammadiyah/Nahdlatul Ulama (NU) belum tentu anggotanya menyalurkan aspirasinya ke partai dan kelompok profesi/intelektual serta raja/sultan yang punya andil besar dalam kelahiran Indonesia. Seharusnya mereka mendapat tempat sebagai UTUSAN GOLONGAN, apalagi kalau dikaitkan dengan spirit dan teks UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, serta sila keempat Pancasila, seharusnya diatur dalam UU Pemilu/ Pilpres.
2. Karena peran partai dominan, tanpa penyeimbang, maka partai sesukanya berkompromi dan mengatur Capres tanpa pertimbangan matang dalam pengajuan Capres, dan mereka bisa dikendalikan denganl kekuatan uang dari oligarki kapital, sehingga mengabaikan kualitas calon presiden. Yang terpenting siapa yang didukung oligarki kapital, itulah yang disetujui menjadi Capres/Cawapres. Kata Bambang Soesatyo, untuk menguasai sebuah partai cukup bayar Rp1 triliun.
3. Dengan sistem Pilpres langsung, meskipun kita punya calon yang bagus, tetapi kalau oligarki kapital tidak sreg bisa saja dikerjai saat proses pencalonan atau di berbagai titik proses pemilihan, seperti bisa saja dibully, dijegal di saat sebelum Pilpres atau saat Pilpres berlangsung. Namun, bisa juga dijegal saat penghitungan suara di KPU.
4. Dengan sistem one man one vote dlm Pilpres langsung, menyamakan suara 1 orang gila dengan suara 1 guru besar, waraskah?
5. Biaya Pilpres langsung hingga puluhan/ratusan triliun untuk KPU dan triliunan dari kantong Capres atau kantong cukong, sehingga menghasilkan orang yang belum tentu sesuai harapan rakyat atau belum tentu juga sesuai harapan cukong. Biaya tersebut belum termasuk keamanan, birokrasi dan lain-lain.
6. Biaya sosial, dan psikologis juga mahal, sementara suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat karena banyak hoaks hingga fitnah yang membuat hubungan antarwarga juga menjadi kurang harmonis, saling berprasangka dll. Rakyat terbelah berkepanjangan, sehingga merusak kerukunan nasional dan sosial, bahkan menghancurkan sila ketiga Pacasila.
7. Isu isu sensitif soal suku, ras, antargolongan, agama sampai tetek bengek soal cara beribadah diumbar sebagai instrumen kampanye, sehingga mengancam persatuan.
8. DAFTAR PEMILIH lama di mana sudah banyak pemilih pada Pemilu/Pilpres 2014 yang telah meninggal dunia, masih dihitung dan digunakan untuk Pemilu/Pilres 2019, sementara pemilih pemula yg berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Maka, apapun argumennya daftar pemilih itu tetap cacat hukum, cacat akal sehat dan cacat moral. Bahkan angka tersebut masih dipakai lagi sebagai basis menentukan President Treshold. Ini sudah mendapat kecaman luas dari publik.
9. Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih misterius. Ini sesuatu yg sangat tidak logis.
10. Sistem Pilpres langsung sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa, apalagi jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan. Instrumen seperti lembaga survei, akademisi (mata duitan), intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, Parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU, buzzer dll dengan uang , janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum dan lain-lain bisa dilibatkan dalam konspirasi.
Aparat keamanan, aparat hukum dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan godaan di atas.
11. Belum terhitung bagaimana teknologi IT yang canggih yang bisa dipermainkan, ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius dan lain lain. Semua inj sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem Pilpres langsung.
12. Dengan sikap KPU yang penuh keanehan (misalnya mendadak mengubah cara debat seperti pada Pilpres 2019) dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodir kepentingan salah satu peserta Pilpres, maka bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa KPU bisa netral dan sungguh-sungguh akan menghasilkan Pilpres yang bisa dipercaya? Pada Pilpres 2019 diduga ada 17,5 juta suara pemilih misterius (Ahli IT Agus Maksum). Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik di kemudian hari.
13. Negara sebesar Indonesia dengan kaum menengahnya yang sudah kaya raya, apa maksudnya membuat KOTAK SUARA untuk Pemilu/Pilpres dari KARDUS, lalu KARDUS ITU DIGEMBOK? Ada apa di balik akal ini?
14. Argumennya bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan, setidaknya jika kita kaji hasil Pilpres 2019 ini;
- Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu/Pilpres 2019 adalah 192,83 juta jiwa.
- Jumlah pemilih Jokowi Ma'ruf 85.607.362 suara, suara Prabowo-Sandi 68.650.239.
- Jumlah suara pemilih Jokowi/Ma'ruf Amin dan Prabowo Sandi = 85.607.362 +68.650.239 = 154.257.601
- Jika jumlah DPT dikurangi suara pemilih Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi, maka ada 38.572.399 pemilih yang suaranya rusak/tidak sah, tidak menggunakan hak suaranya alias Golput, dll.
Jika dipersentase, maka hasilnya sebagai berikut:
- Jumlah pemilih Jokowi Ma' ruf Amin 85.607.362 : 192.830.000 = 44,40%
- Jumlah Pemilih Prabowo Sandi 68.650.239 ; 192.830.000 = 35,60%
- Jumlah suara Golput, suara rusak dll = 38.572.399 : 192.830.000=20%.
Pada Pilpres 2014, angkanya sebagai berikut:
- Jokowi JK: 37,30%.
- Prabowo Hatta: 32,88%
- Golput dll 29,81%
Jika merujuk pada rumus menang secara demokratis seharusnya pemenang Pilpres memperoleh suara 50% +1, akan tetapi nyatanya Jokowi dua kali menang Pilpres hanya dengan meraih 37,30% suara pada Pilpres 2014, dan 44, 20% suara pada Pilpres 2019.
Artinya, jika mengacu pada rumus menang secara demokratis, perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 tidak tercapai, sehingga kami menyebutnya ini hasil *legal tapi tidak legitimatif*.
Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yang dianggap kurang demokratis? Namun Pilpres sistem Perwakilan dapat menghasilkan oresiden yang lebih berkualitas karena ada faktor UTUSAN GOLONGAN dan UTUSAN DAERAH yang bisa menjadi "PENYARING CAPRES" . (bersambung)