Jakarta, Harian Umum - Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi sepertinya sudah sangat jengkel pada perilaku tiga instansi penegakkan hukum di Indonesia, yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Pasalnya, hingga kini ketiga instansi itu terlihat belum bergerak untuk mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan Presiden RI ke-7 Joko Widodo dan keluarganya.
Padahal, oleh OCCRP, mantan presiden yang akrab disapa Jokowi itu masuk daftar salah satu pemimpin terkorup dunia pada tahun 2024 lalu.
Selain itu, Jokowi, juga anak sulungnya yang kini Wapres, yakni Gibran Rakabuming Raka, dan anak bungsunya Kaesang Pangarep, juga menantunya Bobby Nasution, telah pernah dilaporkan ke KPK dan kepolisian.
"Apakah KPK, Kepolisian dan Kejaksaan tak berani kepada Jokowi?! Atau karena belum ada perintah dari Presiden Prabowo?" tanya Muslim Arbi melalui siaran tertulis, Kamis (6/3/2025).
Dia mengkritik Polri yang hanya menjadikan Kades Kohod, Sekdes Kohod Ujang Karta, dan dua orang penerima kuasa berinisial SP dan CE sebagai tersangka kasus penerbitan SHGB dan SHM di pagar laut Tangerang. Padahal, dua perusahaan milik Aguan punya SHGB di pagar laut Tangerang, yakni PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa.
Selain itu, pagar laut membentang sepanjang 30,16 kilometer dengan melintasi 16 desa dalam 6 kecamatan
"Tapi mengapa hanya Kades Kohod dan Sekdes-nya yang dijadikan tersangka?" tanya Muslim.
Dia juga mengkritisi sikap Kejaksaan Agung yang menerima kunjungan Menteri BUMN Erick Thohir dalam kasus Pertamina, padahal Kejagung sedang mengusut kasus korupsi tata kelola minyak di BUMN itu.
"Sikap KPK, Kejaksaan dan Kepolisian yang terkesan diskriminasi dan pilih bulu dalam penegakkan hukum, telah menimbulkan persepsi publik bahwa ketiga instansi itu takut untuk menyentuh Jokowi, sehingga timbul pula kesan bahwa mereka dengan sengaja ataupun terpaksa melindungi Jokowi dan keluarga," imbuh Muslim.
Ia juga mengeritik Presiden Prabowo Subianto yang pernah sesumbar akan mengejar koruptor hingga Antartika, akan tetapi Jokowi yang telah ditetapkan sebagai pemimpin terkorup oleh OCCRP dan ada di depan matanya, tak berani disentuh, bahkan dipuji-puji.
'Tak salah kalau publik menilai Prabowo hanya omon-omon belaka," sindir Muslim.
Ia meyakini rakyat yang membutuhkan keadilan dan dirugikan oleh Rezim Jokowi (2014-2024), termasuk kaum buruh yang 'dicekik' oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja dan para pegiat antikorupsi, semakin kecewa dan pesimis insitusi penegakkan hukum akan menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya selama Prabowo berkuasa, meskipun Prabowo pasti tahu di era pemerintahan Jokowi KKN begitu menggila. Terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi tata kelola minyak di Pertamina yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun per tahun, kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, dan lain-lain.
"Kasus-kasus korupsi di Rezim Jokowi itu sudah telanjang di mata publik karena diberitakan banyak media, dan itu mengerikan," kata Muslim.
Ia yakin, jika Prabowo memberikan instruksi kepada KPK, Kejaksaan dan Kepolisian agar menyikat koruptor tanpa pandang bulu, kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo akan naik tajam, karena ketiga institusi penegakkan hukum itu pasti tegak lurus kepada Prabowo.
"Jika KPK, Polri, dan Kejaksaan membangkang, bahkan tetapi tak berani memproses Jokowi, ganti pimpinan-pimpinannya. Rakyat pasti akan mendukung dan berdiri di belakang Prabowo," tegas Muslim.
Ia juga yakin, jika Prabowo tidak memberikan instruksi, dan Jokowi dan kroni-kroninya yang melakukan korupsi tetap melenggang bebas, publik akan menganggap bahwa Prabowo dan pemerintahannya memang melegalkan korupsi dan KKN yang terjadi di Rezim Jokowi, termasuk yang dilakukan Jokowi dan keluarganya.
"Artinya, korupsi Jokowi dan rezimnya dilindungi. Apakah seperti itu yang dikehendaki Prabowo?" pungkas Muslim. (rhm)







