PKI yang tidak anti Tuhan hanya fokus pada kepentingan kelompoknya, dan untuk mencapai tujuan, mereka tak segan-segan berdusta, manipulatif, menghalalkan bahkan membantai yang tidak sepaham dengannya.
-------------------------
Oleh: Prihandoyo Kuswanto
Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
Kementerian Kebudayaan atas usul rakyat Indonesia akan memberikan gelar Pahlawan kepada Jendral Besar Soeharto yang merupakan penguasa Orde Baru.
Namun, suara-suara menolak/tidak setuju langsung memenuhi ruang publik, di antaranya dari Dr. Ribka Ciptaning, penulis buku "Aku Bangga Menjadi Anak PKI".
Kita perlu membuka sejarah, dan rumah Pancasila sudah melakukan kajian yang sangat mendalam tentang kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi musuh paling utama Pancasila.
”Kalau ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya kepada Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya” (Dr. Mohammad Hatta, mantan Perdana Menteri RI yang juga mendalami Marxisme bersama Soekarno)
Dalam buku 'Serigala Berbulu Domba (Sketsa Banjir Darah ala Partai Komunis Indonesia)', Bakarudin mengatakan begini:
“Sejak awal Kemerdekaan, PKI telah melakukan serangkaian pembantaian di banyak wilayah RI. Mereka tidak segan membunuh untuk merebut kekuasaan".
Bukti-bukti otentik kekejaman PKI sesungguhnya sudah tidak terbantahkan. Inilah sejarah kelam Komunisme di Indonesia
Perjalanan sejarah ideologi Komunis di dunia telah membuktikan selalu melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ideologi yang dikembangakan Karl Mark, Lenin, Stalin, Mao, ini telah membanjiri jagat raya dengan darah.
Buku "Katastrofi Mendunia, Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba" yang ditulis Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya 100 juta orang lebih dibantai, termasuk di Indonesia, oleh Rezim Komunis dan orang-orang Partai Komunis di dunia.
Selalu, ideologi Komunis pada intinya anti HAM,, anti demokrasi, dan anti Tuhan. Karena itu, menjadi ironi apabila masih banyak ”orang dan kelompok masyarakat” masih menginginkan paham Komunis berkembang di Indonesia.
PKI memang sudah dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966, namun benarkah PKI sudah mati?
Pada kenyataannya, di era reformasi sekarang ini para kader PKI dan para simpatisannya berusaha keras memutar-balikan fakta atas segala pelanggaran HAM yang telah dilakukan sepanjang sejarahnya di Indonesia. Dengan dalih ”meluruskan sejarah”, mereka membanjiri toko-tokoh buku dengan berbagai jenis buku untuk memutarbalikkan fakta sejarah.
Tidak hanya itu, para pegiat Komunisme melakukan provokasi melalui media cetak, televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, tuntutan hukum, politik, dan selebaran-selebaran, yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI dan organisasi sayapnya seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, LEKRA, CGMNI, BTI, SOBSI, dan lain-lain, sebagai korban.
Padahal, sangat jelas sejak berdiri di Indonesia, PKI telah ”membokong” perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan Sosial di Republik Indonesia.
Namun, berkat perlindungan Tuhan Yang Esa dan landasan idiil Pancasila serta UUD 1945, paham Komunis beserta PKI telah gagal total dalam mencengkeramkan kekuasaannya.
Tetapi, pada kenyataanya pula perjuangan orang-orang Komunis dan kini beserta kader-kader mudanya, terus-menerus menggerogoti kedamaian Bangsa Indonesia; mengadu-domba, memutarbalikkan fakta sejarah, dan melakukan instabilitas sosial, dengan berlindung di balik perjuangan HAM dan demokrasi.
Padahal, paham Komunis adalah anti HAM, anti demokrasi, dan anti Tuhan. Mereka selalu berdusta, manipulatif dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Sejarah PKI
Organisasi ini didirikan pada 9 Mei 1914 di Surabaya oleh Hendrickus Josephus Franciscus Marie Sneevliet alias Maring dan dibantu Adolf Baars. Sebagai penganut paham Komunis, Maring paham betul bagaimana mengembangkan dengan cara melakukan infiltrasi terhadap organisasi yang didirikan pribumi.
Salah satunya infiltrasi ke Sarekat Islam (SI).
Adalah Semaoen yang menjadi kaki tangan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) dan melakukan penyusupan. Akibatnya, SI kemudian terbelah menjadi SI ”Merah” pimpinan Semaoen dan SI ”Putih” pimpinan HOS Tjokroaminoto. Tanggal 23 Mei 1920, Semaoen mengumumkan manifesto berdirinya Perserikatan Komunsi Hindia di kantor SI Semarang.
Organisasi inilah yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini kemudian bergabung dengan partai Komintern (Komunis Internasional). Garis politik yang dianut berdasarkan ajaran Lenin, yakni harus menggunakan petty bourgeoisie dan menggunakan aspirasi nasional rakyat terjajah (Fadlizon dan H. Alwan Aliuddin dalam Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, halaman 6)
Sebagai kepanjangan tangan ISDV, PKI disetujui bekerja di dalam kalangan SI, yang disebut sebagai organisasi proletar berbaju Islam. Dijelaskan pula, revolusi Asia berdasarkan ”borjuis demokratik” dengan aksi landreform yang mencita-citakan tanah untuk petani penggarap tanah. Artinya, tanah-tanah yang dikuasai para ”tuan tanah” harus direbut secara paksa.
Yang menarik, dan kini digembar-gemborkan oleh kader-kader Komunis, bahwa PKI juga pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda 1926-1927. Pemberontakan di Jawa (Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri dan Banten) dan Sumatera (Padang, Silungkang dan Padang Panjang), pada kenyataan justru menimbulkan korban pada rakyat.
Pemberontakan ini dapat dengan mudah diluluhlantakkan Belanda. Akibatnya, 9 orang digantung, 13.000 orang ditahan dan kemudian sebagian diasingkan di Tanah Merah, Digul.
Pada tahun 1927, PKI Sumatera Barat terlambat memberontak. PKI sendiri memprovokasi kaum tani yang muslimin. Mereka memang menjadi korban kekejaman Belanda karena harus membayar pajak yang terlampau tinggi. Dari pemberontakan, PKI memang melakukan tipu-muslihat dengan mengeksploitir penderitaan para petani. Sesungguhnya PKI hanya mengumpankan kepada Belanda. Orang-orang PKI mengatakan, apabila memberontak, akan datang kapal terbang Angkatan Udara Turki ditugaskan oleh Kemal Attaturk untuk membantu pemberontakan (Brackman, seperti dikutip Taufiq Ismail dalam Katastrofi Mendunia…., halaman xxvi).
Fakta sejarah itulah yang menjadi catatan penting dalam kancah sejarah Indonesia sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamasikan. Ketika banyak organisasi dan para pejuang kemerdekaan mulai mengumandangkan perang dan upaya mempersatukan perlawanan terhadap Belanda, PKI tidak ikut serta di dalamnya. Jadi, tidak ada alasan dan fakta sejarah yang bisa menempatkan PKI sebagai organisasi dan kader-kader pada jajaran heroisme perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tetapi, setelah Kemerdekaan mendapat dukungan rakyat, beberapa kader PKI dari luar negeri, kembali. Sebut saja Sardjono dari Australia, dan Alimin dari Cina. Mereka kemudian melakukan penyusupan ke Partai Sosialis Indonesia dan Partai Buruh.
Mereka pun membangun organisasi dan mendidik kader-kadernya sebagai kader yang memiliki militansi tinggi.
Pengkhiatan demi pengkhiatan pun dilakukan PKI. Partai "Merah" ini tidak peduli dengan perjuangan Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda.
Kekejaman PKI terukir dengan nyata, ketika ”membokong” Kemerdekaan RI dengan melakukan pemberontakan PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat) di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang disertai dengan pembunuhan keji ini dipimpin Muso, yang baru kembali dari Moskow.
FDR didirikan oleh Amir Syarifuddin, yang beroposisi dari Kabinet Mohammad Hatta. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh setelah adanya Perjanjian Renville. Seperti diketahui Kabinet Hatta adalah kabinet anti Komunis dan berhasil mencegah penyusupan kader-kader PKI di tubuh militer dengan cara melakukan reorganisasi Angkatan Perang Republik Indonesia.
Penyusupan memang menjadi pola gerakan PKI. Setelah melakukan penyusupan dan memiliki kader yang handal, PKI pun melakukan pemberontakan berdarah. Itulah sebabnya, mengapa ada tokoh-tokoh PKI dari kalangan Islam, militer, guru, buruh, tani, nelayan, mahasiswa, dan lain-lain.
Para seniman, sastrawan, dan budayawan dengan alasan kebebasan berkreasi dicekoki ajaran Komunis.
Rezim Komunis yang anti Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya. Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883); "Bila waktu tiba, kita tidak akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas kasihan dan kami tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila waktunya tiba, kami tidak mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror. Cuma ada satu cara untuk memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu, dan cara itu adalah teror revolusioner".
Tidak kalah mengerikan dengan Karl Marx, Vladimir Ilich Ullyan Lenin tahun 1870-1924 mengatakan; "saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah-tengah revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan tidak jadi soal bila 3/4 penduduk dunia habis, asal yang tinggal 1/4 itu Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang".
Ajaran Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Komunisme yang gemar memainkan peran sebagai algojo, diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di Indonesia.
Gubernur Jawa Timur, Soerjo, yang memiliki peran penting di dalam kancah perang Kemerdekaan di Surabaya, dibantai habis. Kekejaman PKI yang berhasil direkam oleh Maksum, Sunyoto, Agus dan Zainuddin A dalam buku Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, mengungkapkan, dubur warga Desa Pati dan Wirosari ditusuk bambu runcing dan mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah hingga mereka kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi.
Salah seorang diantaranya adalah wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditanamkan di tengah sawah.
Algojo PKI melintangkan tangga di atas sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atas tangga itu, dan kemudian diikat. Setelah itu, algojo menggergaji badan Sang Bupati sampai putus, DNA kemudian dijatuhkan ke dalam sumur.
Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung, tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur.
Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Lubang-lubang lain di banyak daerah di Jawa juga sudah disiapkan oleh para kader PKI. Daftar nama lawan-lawan politik sudah disusun untuk segera dieksekusi, karena tidak satu paham dengan aliran politik PKI.
Namun, kegagalan Pemberontakan G-30-S 1965/PKI menyebabkan Dewan Revolusi tidak bisa menindaklanjuti aksi berdarah yang sudah dilakukan di Jakarta.
Kini, para anggota PKI, anggota-anggota organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan diri dengan pengakuan-pengakuan palsu, seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi ’65” yang ditulis Ita F. Nadia dan diterbitkan Galang Pres, sebuah penerbit di Yogyakarta.
Padahal, bau anyir darah begitu melekat dalam aksi-aksi perebutan kekuasaan yang dilakukan PKI.
Para penulis asing pun ikut hiruk-pikuk mencuci ”piring kotor” PKI dengan memanfaatkan bahan-bahan dan pengakuan-pengakuan sepihak dari orang-orang PKI. Apakah mereka telah terbeli oleh organisasi Komunis Internasional atau telah menjadi kaki tangan kekuatan asing yang ingin menghancurkan kembali Republik Indonesia?
Inilah pembantaian yang sudah ditorehkan oleh penguasa Komunis di belahan dunia lain. Setidaknya terdapat 100 juta lebih nyawa yang dibantai, sebuah jumlah yang melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Banjir darah dan banjir darah menjadi ciri khas kekuasaan Komunis di dunia.
Dikutip dari buku "Katastrofi Mendunia" karya Taufiq Ismail, tahun 2004:
- 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923)
- 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929)
- 40.000.000 orang dibantai Stalin (1925-1953)
- 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976)
- 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979)
- 1.000.000 rakyat Eropa Timur diberbagai negara dibantai rezim Komunis setempat dibantu Soviet (1950-1980)
- 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rezim Komunis di sana.
- 1.700.000 rakyat berbagai negara di Afrika dibantai rezim Komunis.
- 1.500.000 rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987)
(bersambung)







