Jakarta, Harian Umum- Kinerja Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta di era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai sebagai kinerja paling buruk dibanding era gubernur-gubernur sebelumnya.
"Di era Ahok (2014-2017), kepala Dinkes-nya selain hanya fokus pada proyek, juga kinerjanya terkesan ABS (asal bapak senang), jam kerjanya hanya mengacu pada jam kerja PNS pada umumnya yang dari pagi hingga sore, dan hanya pencitraan," jelas Ketua Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia Agung Nugroho dalam diskusi bertajuk "Optimalisasi Pelayanan Publik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta" di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (22/12/2017).
Lebih detil dijelaskan, akibat fokus pada proyek, pada 2016 dan 2017 kepala dinas tersebut, Koesmedi Priharto, membut proyek yang menurutnya sama sekali tidak perlu dan tidak urgen karena Pemprov DKI sudah punya RSUD dan Puskesmas-Puskesmas-nya memiliki bed yang mencukupi, bahkan telah melampaui standar WHO (World Health Organization).
Proyek dimaksud adalah RSUK (Rumah Sakit Umum Kecamatan) yang terdiri dari 2 proyek pada 2016, dan 5 proyek pada 2017.
Selain itu, pada 2016 Dinkes juga membangun 18 Puskesmas kelurahan, dan 38 Puskesmas kelurahan pada 2017.
"Sampai sekarang pembangunan Puskesms-Puskesms ini belum rampung seluruhnya," imbuh Agung.
Soal jumlah bed, Agung menjelaskan, saat ini Puskesms-Puskesmas di Jakarta telah memiliki 25.000 bed, sementara standar WHO hanya 10.000 bed.
Soal jam kerja Koesmedi yang seperti PNS kebanyakan, lanjut Agung, berimbas pada sulitnya Koesmedi dihubungi, bahkan dalam keadaan urgen sekalipun.
"Padahal saat kepala Dinkes masih dijabat Bu Dien Emawati, kami pernah sampai subuh mencarikan kamar buat warga yang membutuhkan," katanya.
Yang lucu, imbuh dia, sering kali nomor emergency Dinkes, yakni 118, saat dihubungi ternyata tersambung ke PLN.
"Menghubungi AGD (Ambulance Gawat Darurat) pun susahnya setengah mati, sehingga ambulance milik Dinkes itu tak dapat dimanfaatkan saat dibutuhkan," katanya.
Buruknya kinerja Koesmedi juga tercermin dari kenyataan bahwa saat ini warga yang membutuhkan darah diwajibkan membayar Rp300.000 hingga Rp600.000 dengan alasan untuk biaya cek laboratorium dan lain-lain.
"Baru di zaman Koesmedi ini orang yang butuh darah harus membayar. Sebelumnya tidak pernah," tegas Agung.
Memvaksinasi Keluarga Gubernur
Koesmedi juga ternyata dinilai lamban dalam merespon adanya serangan wabah.
Agung menjelaskan, Kementerian Kesehatan telah sejak April 2017 mengingatkan adanya serangan difteri, dan Jakarta diingatkan untuk waspada karena termasuk provinsi yang rawan serangan penyakit yang dapat menimbulkan kematian itu. Namun saat itu Koesmedi tenang-tenang saja.
"Dia juga masih santai saat ada rumah sakit yang melaporkan bahwa seorang pasiennya yang tercatat sebagai warga Tangerang, positif difteri, dan baru kelabakan setelah jumlah penderita mencapai 25 orang dengan dua di antaranya meninggal. Dia langsung menyatakan Jakarta KLB (Kejadian Luar Biasa) Difteri," imbuh Agung.
Sayangnya, penetapan KLB itu tidak disertai petunjuk pelksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi aparat Dinkes, sehingga aparat itu tak tahu harus apa atau bagaimana.
"Lalu terjadi lagi hal yang lucu. Karena ABS dan pencitraan, Dinkes memvaksin difteri gubergur, Wagub dan Sekda beserta keluarganya," imbuh Agung.
Ia menilai, Gubernur Anies Baswedan tak bisa mempertahankan pejabat seperti ini. Apalagi karena bukan rahasia kalau pejabat di era Ahok semua harus tunduk dan menuruti semua perintah gubernur dan wakilnya, sehingga kinerja mereka di bawah standar.
Hingga berita ini ditayangkan, Koesmedi belum dapat dikonfirmasi.
Untuk diketahui, Koesmedi termasuk pejabat di DKI yang diangkat Ahok melalui mekanisme lelang jabatan.
Data Rekan Indonesia mengungkapkan, akibat buruknya kinerja Dinkes di era Ahok, pada Oktober-Desember 2017 terjadi 462 kasus kesehatan. Sebanyak 231 kasus kurang diperhatikan Dinkes, sementara 81 kasus tindakan operasinya ditunda karena berbagai alasan, antara lain karena dokter yang akan mengoperasi sedang ke luar negeri dan sedang rapat dengan Gubernur Ahok di Balaikota.
Dari 462 kasus itu, 13 orang meninggal dunia. (rhm)