DENGAN menghindari kemelekatan akan membuka pintu komunikasi yang tulus dengan orang lain, cinta dan welas asih.
------------------------------
Oleh: Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara
"Aku memang belajar di luar negeri, tapi jiwa ragaku tetap Jawa," demikian sabda Raja Jawa Baru (Mataram Islam), HB IX saat dilantik. Dan, menjelang akhir hidupnya, beliau menulis buku bagus sekali untuk meneguhkan jiwa murni, jati diri dan laku anti kemelekatan kehidupan yang berjudul "Tahta Untuk Rakyat."
Berbeda dengan banyak raja-raja di Nusantara yang diam saat proklamasi, HB IX punya sikap menyempal, crank dan visioner. Menurutnya, masa depan Nusantara itu Republik Indonesia: bukan kerajaan, bukan negara jajahan (Hindia Belanda) juga bukan negara penjajah. Dengan penglihatan yang jauh ke depan itu, kerajaan yang baru 5 tahun (18/03/1940) dipimpinnya langsung diintegrasikan (bahkan pemodal/sate financier) yang direspon Republik untuk ditetapkan sebagai "daerah istimewa."
Kita tahu, kemelekatan adalah sikap mencintai dan merasa memiliki objek (tahta, harta atau orang) yang menempel padanya secara berlebihan. Objek adalah tujuannya, cita-citanya, bahkan hidup matinya. Sedang anti kemelekatan itu sebaliknya, karena menempatkan objek tersebut hanya sebagai sarana dan titipan semesta yang sementara: alat bukan tujuan.
Semua orang pasti pernah merasa tidak puas dengan apa yang dimiliknya, baik itu materi maupun non materi. Maka, dengan menghindari kemelekatan akan membuka pintu komunikasi yang tulus dengan orang lain, cinta dan welas asih. Mental inilah yang dilakoni HB IX dan kita mewarisinya tetapi tidak menjadikannya sebagai tradisi. Alih-alih mentradisikannya, mentalitas model itu dianggap purba dan kita sudah lama membuangnya. Tradisi KKN, kroniisme, dinastiisme, gotong-nyolong dll itu adalah bukti nyata betapa hari-hari ini kita sudah mengubur dalam-dalam mentalitas anti kemelekatan.
Tentu, mental kemelekatan makin digdaya setelah paradigma neo kapitalisme mencapai puncaknya. Mental ini dibangun berdasarkan konsep kepemilikan pribadi, motif keuntungan, dan persaingan pasar. Dengan begitu, individu di sistem neo kapitalisme dapat memiliki, menjalankan usaha, dan bersaing sebebasnya. Yang kuat dan serakah yang menang. Dus, bertujuan mendapatkan keuntungan berkalilipat untuk memastikan kejayaannya. Paradigmanya: menang-kalah.
Setelah teori dependensia (Raul, 1950an), the end of ideology (Daniel Bell, 1960an), the end of history (Fukuyama, 1980an), the clash of civilizations (Huntington, 1990an) dan teori demokratisasi untuk konstitusi baru (Richard, 2000an), praksis semua tentang anti kemelekatan "usai dan kalah." Mental pancasila tenggelam ke got. Negara pancasila, finish. Lalu, semua mencari uang, semua menyembah uang dan semua berperang demi uang.
Dus, dari hasil analisa sikon hari ini, mengungkap dan menghadirkan sosok Sultan Hamengku Buwono IX menjadi sangat penting. Sebab, ia bukan saja berperan sebagai inisiator dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, tetapi juga diplomat ulung yang menjebatani lobi antara bayi republik dan penjajah Belanda (1949); elite politik (Wapres, 1973-78) yang kritis sekaligus tak menuhankan uang; donatur bayi republik sebesar 6.000.000 gulden; penyedia istana negara di saat genting, serta peletak dasar gerakan pramuka di Indonesia.
Dalam sejarahnya nanti kita paham, HB IX bukan ekonom, tapi di awal Ordeba, kemampuannya teruji dalam melakukan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi Indonesia. Hal ini karena luasnya jaringan internasional, posisi politik yang kredibel serta sikap anti KKN yang merealitas. Dus, ia praktisi benar-salah, bukan pengguna paradigma menang-kalah.
Mentalitas anti kemelekatannya teruji. HB IX membuat kraton Yogyakarta sebagai point of view yang didukung kekuatan filosofis dari Merapi (agni)-Kraton (udaka)-Laut Selatan (maruta) sebagai sumbu filosofis yang menggambarkan potensi triangluasi ekonomi dari sisi Agni (pegunungan, potensi sumber daya mineral), Udaka (daratan, potensi sumber daya agraris), Maruta (kelautan, potensi sumber daya archipelagos).
HB IX juga berkonsep dan praktik pengembangan potensi tangible/intangible berupa saujana atau keindahan alam yang dimiliki desa dan kampung dengan segala keunikannya (toponimi) seperti desa wisata, desa budaya, desa kerajinan, desa kuliner, kampung seniman, kampung cyber, kampung konservasi hijau, kampung batik, dll yang dapat menjadi sumber daya ekonomi berbasis kerakyatan, kelestarian alam, konservasi budaya, pendidikan dan pariwisata.
Inilah beberapa bukti yang sampai hari ini sehingga keraton Yogyakarta eksis dan disegani. Tentu saja karena beberapa raja jawa memang berhidup dalam filosofi "memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
Pada saat yang sama HB IX praktik hidup "nrimo ing pandum" sebuh kehidupan yang tulus atau ikhlas menerima segala sesuatu yang telah Tuhan berikan, kasih murni dan selaras dalam pikiran, ucapan, tulisan dan tindakan. Singkatnya, HB IX praktik bermurah hati dengan sesama; bersetia dalam suka duka rakyatnya.(*)