Jakarta, Harian Umum- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati didesak merevisi, bahkan mencabut, peraturan yang diterbitkannya pada 29 Desember 2107 karena berpotensi mematikan pengusaha forwarding dan Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) berskala kecil dan menengah.
Pasalnya beleid berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tatacara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian Atau Kesepakatan Internasional itu mengandung ketentuan yang tak masuk akal dan memberatkan.
"Sekarang ini semua pengusaha forwarding dan PPJK kelas kecil menengah telah menjerit. Kalau PMK itu tidak direvisi atau dicabut, dalam waktu yang tak lama lagi semuanya akan kolaps, bahkan bangkrut," tegas pegiat Komunitas Pelaku Usaha Forwarding dan PPJK (KPU-PPJK) Sugiyanto di Hotel Ibis Style, Sunter, Jakarta Utara, Rabu (4/4/2018).
Ia menjelaskan, buruknya PMK yang diterbitkan menteri yang dianugerahi predikat Menteri Terbaik Sedunia itu terdapat pada pasal 10 ayat (2) huruf a dan b, dan pasal 10 ayat (3) huruf a dan b yang mengatur tentang Notul (Nota Pembetulan).
Pada kedua ayat itu, Sri Mulyani memangkas tenggat waktu penyerahan Notul impor barang yang masuk jalur kuning dan merah dari tiga hari berdasarkan PMK No 205/PMK.04/2015 (beleid yang keberadaannya dihapus karena digantikan oleh PMK No 229), menjadi hanya beberapa jam saja, dan mengenakan denda yang luar biasa besar bagi perusahaan forwarding dan PPJK yang terlambat menyerahkan Notul tersebut.
"Denda yang dikenakan mencapai ratusan juta rupiah, bahkan ada yang tembus Rp1,6 miliar, sementara biaya penguruasan yang normal hanya Rp350.000 hingga Rp500.000," tegasnya.
Secara detil dijelaskan, berdasarkan pasal 10 ayat (2) huruf a dan b, dan pasal 10 ayat (3) huruf a dan b ditetapkan bahwa dokumen Certificate of Origin (COO) atau Surat Keterangan Asal (SKA) barang untuk Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang masuk jalur hijau, diserahkan paling lambat 3 hari, terhitung sejak PIB mendapatkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB). Ketentuan ini berlaku jika pengurusan dokumen dilakukan di Kantor Pabean yang memberikan pelayanan 7x24 jam per pekan (Sabtu dan Minggu dihitung).
Untuk barang yang masuk jalur kuning dan merah, PMK itu hanya memberikan waktu satu hari untuk menyerahkan SKA, dan dokumen itu sudah harus diserahkan paling lambat pukul 12:00 pada hari berikutnya.
Bila dokumen terlambat diserahkan kepada Bea dan Cukai (BC), maka SKA yang diberi fasilitas keringanan atau pembebasan Pajak Bea Masuk dan lainnya menjadi gugur, dan selanjutnya BC menerbitkan Surat Penetapan Tarif Nilai Pabean (SPTNP)/Surat Tambah Bayar (Notul) dengan disertai pengenaan denda yang jumlahnya ratusan juta hingga miliaran rupiah.
"Ketentuan inilah yang sangat memberatkan dan dapat mematikan pelaku usaha yang harus membayar Notul itu kepada BC. Padahal SKA itu berlaku setahun, namun dengan terbitnya PMK No 229 itu, menjadi hanya berlaku selama beberapa jam," sesal pria yang akrab disapa SGY itu.
Persoalan tambah runyam, kata pria berkacamata ini, karena komputer di BC sering lemot dan sering down, sementara yang PPJK dilayani begitu banyak.
Akibatnya sering terjadi, meski karyawan PPJK yang ingij menyerahkan Notul datang pagi hari, hingga pukul 12:00 WIB belum juga dilayani, sehingga kena denda.
Minim Sosialisasi
Selain peraturan yang tak masuk akal dan pelayanan yang kurang profesional, para pengusaha forwarding dan PPJK kelas menengah bawah juga mengeluhkan minimnya PMK No 229/PMK.04/2017 disosilisasikan.
Hingga kini, kata SGY, PMK itu belum pernah disosialisasikan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sementara di Bandara Soekarno-Hatta baru disosialisasi pada 22 Februari dan 27 Maret. Padahal PMK buatan Sri Mulyani itu diterbitkan pada 29 Desember 2017 dan sudah berlaku sejak 28 Januari 2018.
Akibatnya, tak sedikit PPJK yang berbenturan dengan importir, karena tak semua importir dapat memahami kondisi ini dan mau membayari denda.
Akibatnya, banyak PPJK yang tekor.
"Ini yang membuat kami bisa bangkrut, karena antara biaya yang harus dikeluarkan dengan pemasukan menjadi sangat tak sepadan!" tegas SGY.
Para pengusaha Forwarding dan PPJK pun menuntut pemerintah cq Kementerian Keuangan merevisi pasal 10 ayat (2) huruf a dan b, serta pasal 10 ayat (3) huruf a dan b PMK No 229, atau mencabut saja PMK itu karena hanya mendatangkan mudharat.
Dan selama proses itu berlangsung, mereka meminta BC membatalkan pengenaan denda tambah bayar (Notul) dengan menerima keberatan pembayaran yang diajukan PPJK dan importir, dan menghentikan penerbitan denda tambah bayar (Notul).
Isu yang beredar di kalangan pengusaha menyebutkan, Sri Mulyani menerbitkan PMK untuk menutupi defisit APBN akibat jebloknya penarikan pajak.
Karena bingung mendapatkan dana darimana lagi, karena dana haji pun telah digunakan untuk pembangunan infrastruktur (baca; LRT, red), maka PPJK pun dijadikan sasaran.
"Kami sengaja "digorok" agar pemerintah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit APBN," ujar seorang pengusaha yang enggan disebutkan namanya, dan mengaku pernah membayar denda Notul hingga Rp500 juta.
Seperti dikutip dari situs alfijakarta.com, Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto, mengatakan, sesuai aturan, sebagaimana kesepakatan perdagangam bebas Asean, semestinya pengusaha tidak dikenakan bea masuk atas barang yang diimpor.
Ia pun menilai kalau kebijakan ini agaknya bertujuan untuk meminggirkan pengusaha nasional dan memuliakan pelaku usaha global atau asing.
“Kami menilai kebijakan ini adalah yang berkasta memuliakan pelaku usaha global/asing dan meminggirkan usaha nasional,” katanya.
Saat ini sejumlah asosiasi dikabarkan telah mengajukan protes ke Kementerian Keuangan, namun belum diketahui bagaimana hasilnya.
SGY mengatakan, pihaknya mendukung langkah asosiasi-asosiasi itu, dan berharap kementerian segera merespon dengan positif.
"Jangan tunggu sampai ribuan pengusaha forwarding dan PPJK di seluruh Indonesia bangkrut," pungkasnya. (rhm)