Jakarta, Harian Umum - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyebut tujuh perusahaan sebagai pihak yang diduga menjadi penyebab utama bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli.
Seperti diketahui, saat banjir bandang dan longsor menerjang Sumut pada tanggal 25 November 2025 lalu, ada 11 kabupate/kota yang terdampak, termasuk wilayah Tapanuli yang meliputi Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Utara.
Dikutip dari hutanhujan.org, Minggu (7/12/2025), Walhi menyebut Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah merupakan wilayah yang terdampak paling parah. Kala itu 8 orang meninggal, ribuan rumah hancur, dan ribuan hektare lahan pertanian rusak tersapu banjir. Musibah ini membuat puluhan ribu warga di dua kabupaten itu mengungsi.
Mengutip data BNPB, pada Minggu (7/12/2025), jumlah korban tewas di Tapanuli Selatan telah mencapai 85 orang, sementara warga Tapanuli Tengah yang tewas 102 orang dan warga Tapanuli Utara yang meninggal 35 orang.
Jumlah warga Tapanuli Tengah yang mengungsi hingga Minggu (7/12/2025) tercatat sebanyak 17.000 orang, akan tetapi tidak ada data pengungsi dari Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.
Menurut Walhi, wilayah Tapanuli terdampak sangat parah karena bersama Kota Sibolga berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru). Ekosistem ini merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumatera Utara.
Secara administratif, 66,7% Ekosistem Batang Toru berada di Tapanuli Utara, 22,6% di Tapanuli Selatan, dan 10,7% di Tapanuli Tengah. Sebagai bagian dari Bukit Barisan, hutan ini menjadi sumber air utama, mencegah banjir dan erosi, serta menjadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir.
"Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan (ekosistem tersebut) karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, di Medan, Rabu (26/11/2025), sebagaimana dikutip dari hutanhujan.org.
Perusahaan dimaksud adalah:
1. PT Agincourt Resources – Tambang emas Martabe
2. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – PLTA Batang Toru
3. PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu
4. PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput
5. PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapanuli Selatan
6. PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit di Tapanuli Tengah
7. PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit di Tapanuli Selatan
Ketujuh perusahaan ini, kata Walhi, beroperasi di atau sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya.
Rincian Kerusakan Lingkungan:
1. PT Agincourt Resources
Sepanjang 2015–2024, perusahaan ini telah mengurangi tutupan hutan dan lahan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru. Lokasi TMF (Tailing Management Facility) berada sangat dekat Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran. Warga menyampaikan bahwa sejak beroperasinya PIT Ramba Joring, air sungai sering kali keruh saat musim hujan.
2. PLTA Batang Toru (PT NSHE)
Proyek PLTA telah menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah sungai, serta:
Gangguan fluktuasi debit sungai
Sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan dan pembangunan bendungan
Potensi polusi sungai bila limbah galian mengandung unsur beracun
Video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar. WALHI Sumut mensinyalir kayu-kayu tersebut berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA.
3. PT Toba Pulp Lestari (PKR)
Ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru telah beralih fungsi menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan.
4. Skema PHAT (Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami)
Pembukaan hutan melalui skema PHAT menjadi salah satu pemicu banjir bandang. Kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.
Rianda menegaskan, banjir bandang dan longsor yang terjadi di Tapanuli bukan sekadar akibat hujan ekstrem.
"Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan. Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan," katanya.
Berdasarkan AMDAL, PT Agincourt Resources memproduksi 6 juta ton emas per tahun, dan berencana meningkatkan kapasitas menjadi 7 juta ton dengan membuka 583 hektare lahan baru untuk fasilitas tailing, termasuk penebangan 185.884 pohon.
Investigasi WALHI menemukan bahwa sekitar 120 hektare sudah dibuka.
Dokumen dampak lingkungan perusahaan itu sendiri mencantumkan risiko:
1. Perubahan pola aliran sungai
2. Peningkatan limpasan
3. Penurunan kualitas air
4. Hilangnya vegetasi
5. Rusaknya habitat satwa
WALHI Sumatera Utara menegaskan bahwa kehadiran industri ekstraktif telah menyebabkan deforestasi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat.
Karenanya, WALHI menuntut pemerintah untuk:
1. Menghentikan Aktivitas Industri Ekstraktif di Ekosistem Batang Toru, di antaranya:
- Mengevaluasi dan mencabut izin PT Agincourt Resources
- Mengevaluasi dan menghentikan proyek PLTA Batang Toru (NSHE)
- Menutup dan mencabut izin PT Toba Pulp Lestari, termasuk praktik PKR
- Menghentikan aktivitas keempat perusahaan lain yang disebut sebelumnya
2. Menindak Tegas Pelaku Perusakan Lingkungan, termasuk tujuh perusahaan yang diindikasikan merusak hutan dan lahan di DAS Batang Toru.
3. Menetapkan Kebijakan Perlindungan Ekosistem Batang Toru melalui RTRW Kabupaten, Provinsi, dan Nasional secara terpadu.
4. Memastikan Kebutuhan Dasar Para Penyintas, serta mengevaluasi wilayah rawan bencana untuk memitigasi kejadian serupa. (rhm)


