Jakarta, Harian Umum - Indonesia darurat kekerasan seksual karena hampir setiap hari media di berbagai daerah mengabarkan kasus itu.
Pelakunya pun bukan hanya dari rakyat biasa, tapi juga tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan pejabat publik
Salah satu kasus kekerasan seksual yang kini kembali menjadi sorotan adalah kasus yang menjerat seorang kepala daerah di Maluku, tepatnya Bupati Maluku Tenggara Muhamad Thaher Hanubun (MTH).
Pada September 2023 sang Bupati dilaporkan seorang perempuan berinisial TA (21), karyawati kafe milik Bupati itu yang berlokasi di Kota Ambon.
Kasus yang ditangani Polda Maluku ini terkesan seperti diskenariokan pihak-pihak tertentu agar MTH lepas dari jeratan hukum.
“Persoalannya ada pada mekanisme penerapan keadilan restoratif yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang disusul dengan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penangangan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang selalu menjadi pedoman aparat kepolisian, ini persoalannya,” ungkap Adhy Fadhly, aktivis Hak Asasi Manusia dan Anti-korupsi asal Maluku, kepada wartawan, Rabu (10/7/2024).
Menurut dia, restorative justice seharusnya ada pengecualian, khususnya terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Terlebih karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada prinsipnya tidak ada secara tegas mengatur istilah perdamaian antara korban dan pelaku.
“Artinya, mekanisme yang diatur dalam Perkapolri 6/2019 dan 8/2021 itu bertolak belakang dan tidak berlandaskan pada apa yang diatur dalam ketentuan KUHAP,” tandas Direktur Executive Voxpol Network Indonesia itu.
Terkait kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan MTH, Adhy berpendapat bahwa aparat Polda Maluku harus tetap memproses dugaan kasus tersebut walaupun saat ini beredar informasi bahwa MTH telah menikahi korbannya. Sebab, penyelesaian perdata tidak menggugurkan asas pidananya, atau bisa dikatakan bahwa pernikahan itu merupakan pertanggung jawaban moral MTH terhadap korban, tetapi belum pertanggungjawabkannya secara hukum.
Adhy mengakui bahwa saat ini publik banyak yang mempertanyakan komitmen dan konsistensi aparat hukum dalam mengimplementasikan amanat Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang secara tegas menyatakan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Ini jelas diatur dalam pada pasal 23 UU No 12 Tahun 2022.
“Entah MTH bersikap cepat dan kuat ataukah para penyidik yang merupakan anak buah Jenderal Sigit Prabowo yang bersikap lambat dan lemah,” cetus Adhy.
Dia menyayangkan tidak ditetapkannya MTH sebagai tersangka dalam kasus ini. Padahal, menurut dia, saat ada laporan polisi dibuat dan ada penyerahan bukti rekaman dari telepon seluler milik korban terkait percakapan pelaku, maka seharusnya sudah dilakukan penetapan tersangka. Bahkan menurut informasi yang beredar, MTH tidak pernah dipanggil untuk diperiksa dalam kasus rudapksa ini.
"Jika penyidik kesulitan dalam aspek pelecehan fisik dan mengabaikan keterangan korban, maka bukti rekaman suara yang diserahkan korban sudah cukup untuk menjerat pelaku," tegas Adhy.
Ia membeberkan, dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) ada 9 jenis tindak pidana pelecehan seksual. Salah satunya adalah pelecehan seksual non-fisik yang diatur pada Pasal 5 UU TPKS tersebut yang berbunyi: "Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya,dipidana karena pelecehan seksual nonfisik dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)".
Adhy menegaskan, Polda Maluku yang menangani kasus ini seharusnya melakukan proses penyelidikan lanjutan terkait informasi mahar Rp1 miliar. Apakah ada unsur paksaan, dan juga apakah pernikahan antara korban dengan MTH terdaftar secara sah di mata hukum.
Karena semua itu penting guna menjamin hak-hak korban ke depannya.
“Namun, ada informasi yang kami dapat kasus rudapaksa tersebut segera memasuki babak baru,” imbuh Adhy.
Saat disinggung soal langkah MTH yang kembali maju sebagai calon bupati Maluku Tenggara pada Pilkada yang digelar November 2024 mendatang, Adhy mengatakan hal itu hak setiap warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
"Jadi, tidak ada persoalan, tapi kembali kepada etika dan prinsip partai politik dalam memberikan rekomendasi. Sebab akan menjadi bencana politik bagi partai politik yang merekomendasikan figur yang terindikasi terlibat dalam perbuatan perbuatan melawan hukum," katanya.
Namun, ia yakin semua partai politik akan memberikan kepercayaan terhadap figur-figur yang memang layak dan bermoral, serta tidak memiliki catatan buruk dalam perjalanan politiknya, baik dalam masalah korupsi, tindakan asusila dan lain sebagainya.
"Karena clear-nya calon yang akan diusung akan menjadi bahan pertimbangan mendasar oleh partai politik, selain faktor elektabilitas,” tegas Adhy.
Di ujung wawancara, Adhy berpandangam bahwa kasus dugaan rudapksa oleh MTH harus tetap berjalan, jika para aparat penegak hukum tunduk dan patuh terhadap hukum itu sendiri sebagaimana pada Amanat UU TPKS Nomor 12 tahun 2022.
“Segala kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan,” pungkas Pegiat HAM asal Maluku itu.
Menurut informasi yang dihimpun, TA melaporkan MTH ke Polda Maluku pada 1 September 2023 dan laporannya diregistrasi sebagai perkara dengan nomor TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.
Aktivis perempuan dari Yayasan Peduli Inayana Maluku, Othe Patty seperti dilansir CNN Indonesia pada 18 September 2023, mengatakan bahwa pelecehan yang dilakukan MTH terhadap TA diduga terjadi di kafe milik MTH yang berada di wilayah Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, pada April 2023.
Othe mengatakan, saat itu korban diminta memijat MTH di kamar hingga terjadi pelecehan.
Perbuatan serupa ternyata pernah coba dilakukan kembali oleh MTH terhadap korban pada Agustus 2023, tetapi saat itu korban menolak hingga berujung pemecatan.
Pada awal September, TA akhirnya memberanikan diri melaporkan MTH ke Polda Maluku. (rhm)