Jakarta, Harian Umum- Ketua Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis) Sugiyanto menilai, target Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno untuk mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan keuangan daerah, sulit dicapai jika pengelolaan aset daerah masih berantakan.
"Kunci Anies-Sandi untuk mendapatkan WTP dari BPK salah satunya adalah pengelolaan aset. Itu kuncinya," kata dia kepada harianumum.com di Jakarta, Sabtu (26/5/2018).
Ia meyakini, jika pengelolaan aset masih tak maksimal dan banyak masalah, sampai masa bhakti Anies-Sandi selesai di 2022 pun akan tetap mendapatkan WDP (wajar dengan pengecualian) dari BPK, karena pada 2013-2016, yakni di era Gubernur Jokowi dan Gubernur Ahok, pengelolaan aset DKI memang parah. Tak heran jika untuk hasil audit terhadap APBD 2013 BPK memberikan opini disclaimer, sementara untuk hasil audit APBD 2014-2016 BPK memberikan opini WDP.
Untuk APBD 2017 yang hasil auditnya dikabarkan akan diserahkan BPK Perwakilan DKI Jakarta pada Senin (29/5/2018), BPK diprediksi juga akan kembali memberikan WDP, karena 80% pelaksanaan APBD itu dilakukan di era Gubernur Ahok yang dilanjutkan oleh Gubernur Djarot Syaiful Hidayat. Anies-Sandi menggunakan APBD itu setelah dilantik menjadi gubernur dan Wagub Jakarta periode 2017-2022 pada 16 Oktober 2017.
Meski demikian Sugiyanto mengingatkan Anies-Sandi kalau dari 23 janjinya saat kampaye Pilkada DKI 20Q7, salah satunya adalah mendapatkan WTP dari BPK sebagai komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan kredibel.
"Jadi, pengelolaan aset harus menjadi prioritas," tegas aktivis yang akrab disapa SGY itu.
Berdasarkan hasil audit BPK terhadap APBD 2016 diketahui kalau aset tetap Pemprov DKI hingga 31 Desember 2016 tercatat senilai Rp363,58 triliun. Dari jumlah ini, Rp284 triliun di antaranya berupa tanah, dan Rp24,1 triliuan berupa gedung dan bangunan.
Setelah dikurangi akumulasi penyusutan aset tetap sebesar Rp29,1 triliun, nilai aset tetap Pemprov DKI per 31 Desember 2016 tersisa senilai Rp334,4 triliun.
Meski demikian, soal pengelolaan aset ini BPK memberikan banyak sekali catatan buruk. Apalagi karena di APBD DKI 2016 lembaga auditor negara itu menemukan adanya aset senilai Rp10 triliun yang tercatat di Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD), namun tak jelas dimana keberadaannya.
Berikut catatan-catatan yang diberikan BPK:
1. Pemprov DKI belum melakukan pengelolaan secara memadai atas akun aset lain-lain berupa fasos/fasum dari 1.720 lebih perusahaan pemegang SIPPT dengan lahan seluas 16,8 juta m2 (hasil audit APBD 2015)
2. Pemprov DKI belum menindaklanjuti secara memadai atas akun aset lain-lain (aset yang belum divalidasi) senilai Rp4,517 triliun (hasil audit APBD 2015)
3. Penataan penyusutan aset tetap belum memadai karena sistem informasi aset Pemprov DKI belum dapat diandalkan untuk penyusunan barang milik daerah dan laporan keuangan (hasil audit APBD 2016)
4. Proses pencatatan aset tetap yang berasal dari donasi pihak ketiga belum memadai (hasil audit APBD 2016)
5. Banyak pencatatan aset pihak ketiga tanpa disertai berita acara serah terima barang (hasil audit APBD 2016)
6. Penatausahaan aset tetap Pemprov DKI tidak memadai (hasil audit APBD 2016)
7. Pemprov DKI menyetujui lahan pengganti atas pelampauan koefisien dasar bangunan (KDB) yang tak punya dasar hukum dan belum memproses pelampauan KDB dan pengurangan penyertaan fasos/fasum oleh pengembang
SGY menjelaskan, akibat buruknya pengelolaan aset, saat ini banyak sekali aset DKI yang belum disertifikasi, dikuasai atau dimanfaatkan pihak tertentu, mengalami pencatatan ganda, dan tak jelas dimana keberadaannya, sehingga berpotensi hilang.
Contoh aset-aset bermasalah tersebut di antaranya aset berupa tanah milik Dinas Kelautan di Cengkareng, Jakarta Barat, yang pada 2015 dibeli Pemprov DKI cq Gubernur Ahok sebesar Rp668 miliar, sehingga menjadi urusan polisi; banyaknya tower mikrosel yang berdiri di lahan milik Pemprov DKI secara ilegal, sehingga tidak membayar pajak maupun retribusi.
"Yang menarik pembelian lahan RS Sumber Waras. Lahan itu sudah dibeli Rp800 miliar, tapi sampai sekarang sertifikat HGB-nya belum diserahkan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, sehingga belum bisa dicatat sebagai aset daerah," imbuh aktivis yang juga politisi PAN itu.
SGY menyarankan, selain menjadikan masalah aset sebagai proritas, Anies sebaiknya juga melibatkan pakar dari eksternal Pemprov untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya, karena bukan mustahil ada indikasi pidana di balik pengelolaan aset yang amburadul itu, khususnya di era Gubernur Jokowi, Gubernur Ahok dan Gubernur Djarot Saiful Hidayat (2012-2017).
"Yang harus selalu diingat Anies-Sandi adalah pendukung dan simpatisannya ingat betul 23 janji yang mereka ucapkan saat kampanye. Maka, jika Anies-Sandi gagal mendapatkan WTP, maka kepercayaan pendukung dan simpatisan akan merosot. Bahkan tidak menutup kemungkinan para pendukung itu putar arah menjadi oposisi," pungkasnya. (rhm)





