FAKTA HUKUM jelas mengindikasikan proses (tata cara) Pilpres 2024 bisa diistilahkan dengan garbage in garbage out. Bagaimana angka perolehan suara setiap Paslon bisa dihitung secara akurat jika sumber angkanya (form C-Hasil) tidak dibuka atau ditunjukkan oleh KPU?
--------------------------------
Oleh: Juju Purwantoro
Koordinator Advokasi Hukum Gerakan Penegak Keadilan Rakyat (GPKR)
Jelang Vonis MK tentang sengketa Pilpres 2024 pada Senin 22 April 2024, ada beberapa hal menarik. Antara lain pesan dari mantan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri yang patut untuk dicermati dan dipertimbangkan.
Pesan tersebut berbunyi; "Hakim Mahkamah Konstitusi mesti bersikap negarawan karena bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif, dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama".
Megawati menegaskan;
"Keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum, budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum dan keteladanan aparat penegak hukum, menjadi satu kesatuan supremasi hukum.
Presiden berdiri di atas semua golongan dan bertanggung jawab atas keselamatan seluruh bangsa dan negara.
Segala kesan yang menunjukkan bahwa Presiden (Jokowi) memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya adalah fatal, sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.
Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif".
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal konstitusi selama ini distigmakan, bahkan diplesetkan oleh masyarakat sebagai 'Mahkamah Kalkulator, Mahkamah Keluarga, bahkan Mahkamah Dinasti'.
Asal muasal MK dianggap menjadi biang keroknya Mahkamah Keluarga adalah tidak luput dari peran mantan ketuanya, yaitu Anwar Usman, yang diberi julukan oleh media sebagai Paman Usman, karena mengawini adik Joko Widodo, Presiden RI. Akibat hukumnya, pada 20 Maret 2023 KPU meloloskan Gibran Rakabumi sebagai calon wakil presiden (Cawapres). Pintu masuknya adalah lewat Anwar Usman dengan menggolkan Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan "Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres".
Dengan dasar keputusan MK tersebut, menjadikan KPU membentangkan karpet merah bagi Gibran, sehingga bisa melenggang menjadi Cawapres, mendampingi Prabowo yang merupakan calon presiden (Capres).
Seperti 'aji mumpung', Ketua KPU Hasyim Asyari, juga secara sigap mengesahkan pasangan Prabowo dan Gibran sebagai Capres dan Cawapres. Padahal, secara terang benderang modus tersebut menabrak PKPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Secara normatif, keputusan KPU tersebut seharusnya diubah dulu sesuai keputusan MK No.90/PUU-XX!/2023, tentu setelah terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR.
Mekanisme tersebut dilewati KPU, sehingga Ketua KPU mendapat akumulasi peringatan keras dan terakhir beberapa kali dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Perbedaan perolehan suara versi KPU yang mencolok antar para Capres, yaitu 24%/01, 58%/02 dan 16%/03, dan dugaan pelanggaran Pemilu (kecurangan) yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), didominasi oleh paslon 02. Akhirnya, perolehan hasil suara Pilpres 2024 yang penuh kontroversi dan kontradiktif tersebut, dijadikan alas hukum paslon No.1 dan No.3 untuk memohon (gugatan) lewat MK.
Fakta hukum jelas mengindikasikan proses (tata cara) Pilpres 2024 bisa diistilahkan dengan jika "sampah yang masuk, maka yang akan keluar adalah sampah (garbage in garbage out)". Bagaimana angka perolehan suara setiap Paslon bisa dihitung secara akurat jika sumber angkanya (form C-Hasil) tidak dibuka atau ditunjukkan oleh KPU. Jika KPU hanya menampilkan angka–angka Sirekap, hal itu patut dipersoalankan karena diduga kuat sudah penuh campur tangan, kecurangan dan rusak berat, oleh karenanya harus dilakukan "audit forensik".
Dalam proses sidang MK, majelis juga memanggil 4 (empat) orang menteri Jokowi, walalaupun hanya normatif. Para pihak tergugat 1 dan 3 yang seharusnya diberi kesempatan mendalami dan membongkar kasus Bansos dan peranan Jokowi lewat tanya jawab, tidak diberikan kesempatan oleh majelis.
Fakta persidangan, majelis hanya penuh basa-basi, tidak bisa menggali keterangan dengan patut dan cukup, baik secara materiil maupun substantif dari mereka. Padahal, adalah fakta bahwa Bansos yang melibatkan langsung Presiden Jokowi secara terang benderang (kausalitas) tanpa etika dan rasa malu dijadikan sebagai instrumen kepentingan kampanye politik guna memenangkan Paslon 02 .
Majelis MK sebagai 'public court' harus bersikap (omnicus curae) sebagai saluran mendengar nurani rakyat dan menjaga jalannya konstitusi negara (the guardian of constitution). Pilpres adalah proses pemilihan pimpinan tertinggi negara, merupakan pertaruhan kepentingan kedaulatan hukum dan ketatangeraan bangsa secara menyeluruh. Oleh karenanya, MK melalui para personal majelisnya harus mengangkat nilai tertinggi (etik) hukum dan keadilan. Sesuai ketentuan 'judicial activism', hakim dalam mewujudkan keadilan sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, termaktub tanggung jawab yang melekat pada seorang hakim untuk berperan secara aktif dalam upaya mencapai keadilan bagi warga negara.
MK bukan hanya sekedar lembaga hukum formal, tapi juga harus mampu (berpikir progresif) mengungkap data-dara/bukti-bukti persidangan secara lebih luas dan otentik. Keputusannya harus didasari keyakinan nurani (beyond any reasonable doubt), tidak hanya mengacu kepada akibat atau angka-angka perolehan akhir hasil suara.
Majelis perlu putusan terobosan (recht finding) untuk mengembalikan marwah MK kepada prinsip 'free and fair', demi meluruskan jalannya konstitusi negara.
Harapannya, setidak-tidaknya majelis MK dapat menerima petitum pemohon untuk seluruhnya atau sebagian, antara lain;
1. Mendiskualifikasi sepenuhnya Paslon No.2, atau setidaknya membatalkan Gibran Rakamuming Raka selaku Cawapres, dan agar Capres Prabowo Subianto memilih Capres lain sebagai pengganti Gibran ;
2. Memerintahkan kepada KPU untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang untuk Pilpres 2024 antara Paslon No. 1 (Anies- Muhaimin), Prabowo dengan 'Cawapres pengganti Gibran' sebagai Paslon No. 2, dan Ganjar Pranowo - M.Mahfud MD selaku Paslon No. 3 di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia.