Jakarta, Harian Umum - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan mengungkap, tren pelemahan rupiah saat ini dipicu oleh sikap investor yang tidak lagi tertarik kepada Indonesia, sehingga berbondong-bondong meninggalkan Indonesia, melakukan divestasi, bahkan menjual saham dan obligasi.
Kondisi ini, plus asumsi makro APBN yang melenceng membuat rakyat menanggung akibatnya, antara lain dalam bentuk kenaikan harga kebutuhan dan pajak.
"Tekanan terhadap ekonomi Indonesia dan kurs rupiah masih kuat, tepatnya semakin kuat.Intervensi kurs rupiah oleh Bank Indonesia nampaknya tidak efektif mengangkat nilai rupiah yang masih bercokol di atas Rp16.200/dolar AS," kata Anthony seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Minggu (28/4/2024).
Ia menyebut, kebijakanbBank Indonesia yang “terpaksa” menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen, menjadi 6,25 persen, merupakan hal yang telah dapat diduga.
Namun, kata dia, upaya ini masih belum mampu membuat kurs rupiah menguat.
"Kurs rupiah hanya naik sedikit, untuk kemudian turun lagi di atas Rp16.200/dolar AS," katanya.
Anthony menyebut, pangkal masalahnya adalah investor asing saat ini sedang tidak tertarik dengan Indonesia, sehingga ada yang meninggalkan Indonesia, melakukan divestasi atau justru menjual assetnya, baik yang dalam bentuk obligasi maupun saham.
Anthony mencatat, sepanjang triwulan I-2024, cadangan devisa sudah anjlok 6 miliar dolar AS atau hampir Rp100 triliun.
"Namun, tekanan terhadap kurs rupiah masih terus berlanjut di awal kuartal II-2024 ini. Hanya 4 hari dalam minggu ini saja, 22-25 April 2024, investor asing menjual surat berharga negara senilai Rp2,08 triliun, dan menjual saham senilai Rp2,34 triliun," katanya.
Ia meyakini, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 6,25 persen akan menekan pertumbuhan ekonomi, sehingga investasi dan konsumsi masyarakat akan melambat.
Sementara di sisi lain, investasi asing sudah melambat lebih dahulu, bahkan tumbuh negatif.
"Kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah akan memicu harga barang naik, membuat daya beli masyarakat melemah, dan akan menekan pertumbuhan ekonomi," katanya pagi.
Anthony lalu menyoroti kondisi APBN yang menurut dia juga dalam kondisi yang tidak kalah memprihatinkan, karena APBN dalam tekanan berat akibat asumsi makro di APBN melenceng jauh.
"Asumsi kurs rupiah di APBN hanya Rp15.000 per dolar AS, sedangkan kurs rupiah melemah terus. Realisasi selama 4 bulan pertama 2024, Januari sampai April, kurs rupiah rata-rata diperkirakan sudah mencapai Rp15.750 per dolar AS, dengan tren masih terus naik," katanya.
Kondisi ini, lanjut Anthony, membuat pembayaran bunga utang pemerintah dan belanja subsidi di dalam APBN membengkak.
"Akhirnya rakyat juga yang menanggung beban ekonom, karena harga (kebutuhan) naik, pajak naik, kemiskinan juga bisa naik," pungkasnya. (rhm)