PUTUSAN hakim untuk memenjarakan Jessica selama 20 tahun seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para penegak hukum. Ini menekankan betapa pentingnya menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, pembuktian tuntutan, dan pengambilan keputusan dalam suatu perkara hukum dengan hati-hati, tanpa adanya celah kelemahan sekecil apapun.
-----------------------------------
Oleh: Sugiyanto
Aktivis senior Jakarta
Kasus "Kopi Sianida" tahun 2016 masih melekat di ingatan banyak orang. Kejadian ini mendapat sorotan luas dari masyarakat di seluruh Nusantara. Dalam kasus ini, Jessica Kumala Wongso didakwa sebagai pelaku pembunuhan terhadap sahabatnya sendiri; Wayan Mirna Solihin, dengan menambahkan racun sianida ke dalam gelas kopi Vietnam Mirna di Cafe Olivier Grand Indonesia.
Ayah kandung Mirna, Edi Darmawan, memutuskan untuk mengejar masalah ini secara hukum. Singkatnya, Jessica kemudian mendatangi pengacara terkenal Otto Hasibuan yang juga menjabat sebagai ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Otto bersedia membantu Jessica dengan syarat, jika dalam proses hukum terbukti bahwa Jessica adalah pelaku pembunuhan Mirna, Otto akan melepaskan kasus ini.
Kenyataannya, Otto terus mendukung Jessica sepenuh hati. Meskipun kalah dalam persidangan, Otto tetap yakin bahwa Jessica tidak bersalah. Oleh karena itu, ia terus memberikan dukungan hukum dalam proses banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi serta peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Penting dicatat bahwa sebagai pengacara Jessica, Otto tidak meneriba bayaran dalam bentuk apapun.
Dalam membela Jessica, Otto patut diakui sebagai seorang pengacara luar biasa. Kejeniusan dan kecerdasannya tercermin saat dia berhasil mengatasi tekanan publik dalam kasus yang mendapat perhatian publik dengan sangat luar biasa ini. Pada saat itu, opini publik cenderung memandang Jessica sebagai pelaku pembunuhan Mirna dengan menggunakan racun sianida.
Dengan keahlian dan keterampilannya, Otto berhasil mempengaruhi pandangan publik dan akhirnya memenangkan simpati masyarakat. Keunggulan luar biasa yang dimiliki oleh pengacara terkemuka ini tidak terbuang percuma. Selama proses persidangan, Otto sering mengajukan pertanyaan dan menjelaskan berbagai hal dengan logis dan rasional, bahkan mengungkap kelemahan dalam argumen jaksa penuntut, termasuk masalah seputar otopsi dan penyebab kematian akibat racun sianida.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kasus "Kopi Sianida" seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para penegak hukum. Ini menekankan betapa pentingnya menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, pembuktian tuntutan, dan pengambilan keputusan dalam suatu perkara hukum dengan hati-hati, tanpa adanya celah kelemahan sekecil apapun.
Hal ini menjadi sangat penting karena melalui film dokumenter Netflix berjudul "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso," persepsi publik terhadap kasus "Kopi Sianida" tahun 2016 telah mengalami perubahan. Saat ini, mungkin saja publik mulai mempertimbangkan bahwa Jessica bukanlah pelaku pembunuhan Mirna dengan menggunakan racun sianida.
Perubahan ini muncul karena masyarakat melihat adanya celah atau kelemahan yang patut diperdebatkan, sehingga muncul persepsi baru bahwa Jessica bukan pelaku pembunuhan sahabatnya itu.
Namun, "nasi telah menjadi bubur," sudah terlambat untuk mengubah apa pun. Dalam proses pengadilan kasus "Kopi Sianida," hakim telah memutuskan bahwa Jessica Kumala Wongso bersalah dan dihukum penjara selama 20 tahun. Bahkan upaya hukum seperti banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi serta PK ke MA semuanya ditolak. Ini berarti bahwa tidak ada lagi jalan bagi Jessica untuk mencari keadilan, karena PK tidak dapat diajukan dua kali atau masih menjadi kontroversi.
Namun, melalui proses hukum istimewa, yaitu "grasi" atau pengampunan dari Presiden, Jessica, menurut Otto, menolak karena ia tidak bersedia mengakui dirinya sebagai pelaku pembunuhan Mirna. Inilah titik simpangannya. Artinya, meskipun ada desakan dari masyarakat untuk membuka kembali kasus "Kopi Sianida," namun jalannya menjadi buntu karena Jessica tidak menerima tawaran grasi dengan syarat mengakui perbuatannya.
Dalam persoalan ini, tidaklah pantas untuk menyalahkan keputusan hakim yang telah menjatuhkan vonis bersalah kepada Jessica. Sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Christophel Liwe dalam Jurnal Lex Crimen (2014), hakim adalah pihak yang bertugas menjalankan kekuasaan negara secara independen, dan bebas dari intervensi dalam bentuk apapun untuk menjalankan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim adalah individu yang bertindak sebagai pengadil dalam proses peradilan, dan pengadilan atau mahkamah merupakan wadah resmi di mana kekuasaan publik digunakan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan mencari keadilan. Dalam sistem hukum, hakim adalah figur yang memiliki peran kunci dalam menjalankan proses peradilan dengan itikad baik dan objektif.
Saat ini, kasus "Kopi Sianida" telah menjadi sebuah dilema yang kompleks. Meskipun ada persepsi baru di masyarakat bahwa Jessica Kumala Wongso tidak bersalah, tetapi hakim telah memutuskan bahwa ia bersalah, bahkan hingga pada tingkat PK di MA.
Sebagai akibatnya, boleh jadi pemerintah dihadapkan pada situasi sulit di mana mereka harus mempertimbangkan persepsi publik bahwa Jessica tidak bersalah dan juga masalah kepastian hukum.
Dalam konteks ini, pemerintah sebaiknya harus segera bertindak. Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI) Mahfud MD, memiliki potensi untuk menciptakan inovasi hukum yang diperlukan. Sebagai contoh, dapat membentuk Tim Independen Penyelidik untuk mengkaji ulang kasus "Kopi Sianida." Langkah ini penting untuk menegaskan tentang kepastiam hukum bagi para pencari keadilan (yustisiable).
Namun, penting untuk dicatat bahwa tim penyelidik ini harus menjalankan tugasnya tanpa mengkritik keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, hingga ada keputusan baru. Keputusan baru ini harus memiliki bobot hukum yang setara atau lebih tinggi dari keputusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA).
Salam.