Jakarta, Harian Umum - Aktivis buruh nasional yang juga Presiden Women Commitee Asia Pasific di UNI Apro, Mirah Sumirat, mengungkap, daya beli masyarakat semakin menurut akibat berbagai faktor.
Selain karena kebijakan pemerintah yang membuat buruh diupah dengan murah, juga karena maraknya PHK, termasuk pada semester I - 2024.
"Data Kementerian menyebutkan, dari Januari Hingga Juni 2024, jumlah buruh yang di-PHK di Indonesia sebanyak 32.064 orang. Kami meyakini, jumlah yang sesungguhnya bisa dua kali lebih besar dari jumlah tersebut," kata Mirah Sumirat seperti dikutip dari siaran persnya, Senin (12/8/2024).
Ia membeberkan kalau perbedaan data itu terjadi karena banyak perusahaan tidak melaporkan jumlah pekerjanya yang di-PHK kepada Dinas Tenaga Kerja di.mana perusahaan itu berdomisili, dan biasanya juga karena ada kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, sehingga pelaporan itu tidak dilakukan.
"Selain itu, banyak juga pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan, dan ini berpengaruh pada data yang digunakan kementrian, karena Kementrian Ketenagakerjaan menggunakan data berdasarkan klaim dari buruh terhadap Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan,' imbuh Mirah Sumirat.
Mantan Presiden Asosiasi Setikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) ini mengakui kalau sebagian dari buruh yang di-PHK alih profesi menjadi wirausahawan skala kecil, seperti menjadi pedagang makanan kaki lima. Ini diperkuat dengan data bahwa jumlah pekerja informal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), bertambah dalam 5 tahun terakhir.
Pada Februari 2019, jumlah pekerja informal masih 74.09 juta orang (57.27 % dari total penduduk Indonesia yang bekerja), tetapi pada Februari 2024 jumlahnya naik menjadi 84.13 juta orang ( 59.17 % dari total penduduk bekerja).
"Artinya, mereka memiliki pendapatan tidak tetap dan cendrung bertambah miskin, sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup layak," tegas Mirah Sumirat.
Selain menjadi pekerja informal, aktivis buruh yang senantiasa berhijab ini juga mengungkap kalau buruh yang di-PHK ada yang menjadi driver online, kerja serabutan, dan lain-lain.
Kebijakan pemerintah yang membuat buruh mendapat upah murah sehingga daya belinya menurun, jelas Mirah Sumirat, adalah PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Bahkan PP ini mereduksi fungsi Dewan Pengupahan dan menghilangkan Komponen Hidup Layak ( KHL). Kebijakan upah murah di PP Nomor 78 itu semakin ditegaskan oleh terbitnya UU Omnibus Law Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Di sisi lain, pemerintah tidak mampu menjaga stabilitas harga pangan dan kebutuhan yang lain, sehingga sejak tahun 2021 harga Sembako pun terus meroket dengan kenaikan rata-rata mencapai 21 persen, dan menekan daya beli buruh yang digaji dengan sangat murah," kata Mirah Sumirat.
Ia menegaskan bahwa kebijakan politik upah murah terbukti sangat efektif untuk menciptakan kesenjangan karena yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat, dan ini bisa berakibat tidak baik untuk bangsa dan negara Indonesia ke depan. Apalagi karena selain PP Nomor 78 dan UU Omnibus Cipta Kerja, pemerintah juga menerbitkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024, UU Omnibus Law Kesehatan, dan UU Omnisbus Law Perbankan yang kian memperburuk ekonomi buruh.
Gilanya, penerbitan semua beleid itu tanpa melibatkan partisipasi publik dan stakeholder terkait dalam penyusunannya, serta tetap disahkan DPR meski diprotes masyarakat.
"Pemerintah juga menaikkan pajak (PPN, pajak hiburan dll) dan mencabut subsidi (antara lain subsidi pupuk dan subsidi energi), tetapi di sisi lain pemerintah terlihat tidak ada upaya yang keras untuk menarik pajak dari para wajib pajak yang menunggak pajak. Coba dicek berapa tunggakan pajak dari kelompok orang-orang kaya yang punya wajib pajak kepada negara," tantang Mirah.
Ia berharap, menurunkan daya beli buruh ini jangan dibiarkan berlarut-larut, dan harus segera di lcarikan solusinya.
"Kita berharap di pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Bapak Prabowo Subianto , isu pekerja/buruh dan rakyat bisa diselesaikan untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera dan layak sesuai amanat UUD 1945," pungkas Mirah. (rhm)