APA YANG TERJADI di Pilkada Jakarta yang membuat Anies gagal mencalonkan diri, merupakan tanda-tanda matinya demokrasi di Indonesia.
-------------------------
Oleh: Juju Purwantoro
Advokat
Ada yang menarik dari apa yang disampaikam mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat memberikan kuliah umum pada suasana Ramadhan di Masjid Kampus UGM, Senin (3/3/2025).
Dalam pemaparan umumnya, Anies membahas soal pembangunan infrastruktur pendidikan. Bahasan ini cukup membuat antusias hadirin bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tapi juga mayarakat yang semuanya merupakan warga Yogyakarta dan sekitarnya..
Salah satu hal menarik yang dipaparkan Anies adalah soal tanda-tanda matinya demokrasi, yaitu ganti aturan main, singkirkan lawan dari pertandingan, kuasai wasit.
"Sepert pertandingan teater, seperti Pilgub Jakarta baru-baru ini," kelakarnya.
Anies juga menerangkan tanda- adanya demokrsai, yaitu adanya oposisi, adanya pembagian kekuasaan, dan adanya kebebasan berbicara.
Menurut penulis, apa yang disampaikan oleh Anies sesungguhnya adalah sindiran atau fakta yang telah terjadi di proses Pilkada/Pilpres di Indonesia. Hal itu bisa juga kita katakan merupakan bentuk 'kejahatan demokrasi oleh negara atau Parpol (organized crime).
Sebagai contoh, pada detik-detik terakhir Pilkada Jakarta 2024, seorang Anies dengan begitu gampangnya dibatalkan dan diganti pencalonan Cagubnya oleh PDIP., persis seperti teori tentang matinya demokrasi yang dijelaskan Anies di atas. Maka, itu jelas menimpa pada diri Anies.
Padahal menurut pasal 22E UUD 1945 maupun pasal 2 UU No. 7 Tahun 2017 menjelaskan bahwa asas Pemilu sebagai prinsip 'langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil', yang dikenal sebagai Luber dan Jurdil.
Dalam Pilkada Jakarta tersebut disinyalir penuh konspirasi, rekayasa, dan kecurangan akibat pencalonannya ditentukan sepenuhnya oleh Parpol peserta Pemilukada. Kepentingan suatu Parpol dengan komplotannya yang dengan taktik dan strategi busuknya melakukan berbagai cara untuk dapat mencalonkan dan memenangkan pasangannya.
Dengan lahirnya Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, pada tanggal 20 Agustus 2024, maka partai politik peserta Pemilu mempunyai hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa perlu adanya batasan prosentase kursi DPR atau suara sah nasional.
Jadi, presidential threshold (PT) sesuai pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur bahwa "pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR", menjadi tidak berlaku.
Dengan adanya banyak calon, membuat pilihan masyarakat menjadi lebih variatif dan angin segar demokratis, jika dibandingkan hanya dua, bahkan satu pasangan calon saja. Tentunya juga membuka peluang bagi Anies, jika ingin maju dalam kontestasi Pilpres pada 2029 mendatang.
Jadi, suatu Parpol tidak bisa lagi mendominasi dalam menentukan calon dalam Pilpresnya, seperti kasus dan pengalaman Anies pada Pilkada Jakarta 2024. []
Jakarta, 6/3/25





