PUTUSAN MK No 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil sebelum pensiun atau mengundurkan diri, membuat Democratic Policing Tito ambrol.
------------------
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Selama Tito Karnavian menjadi Kapolri (13 Juli 2016 – 22 Oktober 2019), konsep penguasaan negara melalui pengisian jabatan di berbagai instansi, termasuk sipil, dijalankan intensif dan sistematis, seolah memanfaatkan celah kembalinya TNI ke barak. Kepolisian pun merajalela lewat "Democratic Policing" Tito Karnavian, bahkan terkesan menjadi pengendali elemen demokrasi, termasuk partai politik. Di sini perannya seperti partai politik.
Tak heran jika muncul asumsi bahwa Jokowi yang kala itu masih presiden, "mengendarai" Polisi.
Tito lalu diangkat menjadi Mendagri oleh Jokowi pada tanggal 23 Oktober 2019, dicurigai untuk merealisasikan "Democratic Policing" sebagai konsep politik. Bersama Kapolri penggantinya, yaitu Jenderal Pol Idham Azis; dan Kapolri yang saat ini masih berkuasa, Jenderal Pol Listyo Sigit, "Partai Coklat" berjaya untuk menjadi mesin politik, untuk melindungi dan menjaga kepentingan Jokowi hingga urusan pribadi dan famili. Ijazah pun tidak terkecuali. Hingga kini.
Putusan MK No 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil sebelum pensiun atau mengundurkan diri adalah pengambrolan konsep Tito Karnavian tersebut. Pada 2 tahun terakhir saja ada 832 perwira, antara lain 13 Komjen, 48 Irjen, dan 76 Brigjen yang menduduki berbagai jabatan sipil. Belum lagi peran Kepolisian dalam memback-up atau mengendalikan berbagai kepentingan politik pragmatik.
Putusan MK menegaskan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki substansi sama dengan Pasal 10 ayat (3) Tap MPR, yakni Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurlan diri. Putusan MK ini dikritisi anggota DPR Fraksi PKS Nasir Djamil dan tentu mengejutkan Penasehat Ahli Kapolri Hermawan Sulistyo, penulis buku "Democratic Policing" bersama Tito Karnavian.
Nasir Djamil nampak membela kebebasan Polisi aktif untuk menjabat pada institusi sipil. Menurutnya, Polisi itu bukan Militer, tetapi institusi sipil. Djamil kurang peka bahwa salah satu kerusakan berbangsa dan bernegara disebabkan oleh peran berlebihan Kepolisian. Adanya istilah Parcok menjadi gambaran dari multi peran tersebut.
Nasir Djamil juga lupa bahwa lembaga yang paling tidak dipercaya publik menurut Survey Indikator urutan nomor 2 adalah Kepolisian sementara nomor 1 itu DPR dan nomor 3 adalah Partai Politik. Ada irisan dengan Nasir Djamil, lho. Tentu rakyat lebih percaya pada Putusan MK daripada Kepolisian yang merajalela. Reformasi Kepolisian merupakan tuntutan prioritas.
Konsep Tito Karnavian mulai ambrol. Polisi sebagai alat kepentingan politik harus segera diakhiri. Kasus proteksi Jokowi dalam kasus ijazah palsu adalah wajah buruk Kepolisian. Bagaimana Polisi harus berbelat-belit untuk menutupi ijazah palsu Jokowi?. Alih-alih membangun profesionalisme, justru yang terjadi adalah pemerkosaan hukum dengan mentersangkakan 8 orang aktivis dan akademisi.
Banyak pihak yang terkejut dengan Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 tersebut terutama pendukung multi fungsi Polri. Implikasi dapat meluas. Desakan rakyat soal reformasi Kepolisian akan terus menguat termasuk penggantian Kapolri Listyo Sigit dan Mendagri Tito Karnavian. Lalu bongkar-bongkar kasus Kanjuruhan, KM 50, maupun stop kriminalisasi aktivis dan akademisi dalam kasus ijazah palsu Jokowi.
Setelah konsep Tito Karnavian ambrol, maka rakyat akan lebih bergairah lagi untuk terus menjebol benteng mafioso aparat penegak hukum, khususnya proteksi atas berbagai kebusukan dan kejahatan Joko Widodo.(*)





