Jakarta, Harian Umum - Aliansi Advokat Bandung Bergerak (AABB) menilai, tindakan Polda Metro Jaya menetapkan delapan tersangka untuk kasus ijazah mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum itu sedang "sakit' dan harus direformasi.
ABB bahkan mendorong Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komnas HAM, dan Ombudsman RI untuk melakukan pengawasan independen atas proses hukum yang sedang berlangsung terhadap kedelapan tersangka tersebut.
Kedelapan tersangka itu dibagi menjadi dua klaster, di mana klaster pertama terdiri dari Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi dan Muhammad Rizal Fadillah.
Sedang klaster kedua terdiri dari tiga orang, yakni Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, Tifauziah Tyassuma
Mereka dijerat dengan tindak pidana pencemaran nama baik dan ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam Pasal 27A dan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.
"Di tengah gelombang desakan masyarakat terhadap krusialnya reformasi di tubuh Polri, mentersangkakan 8 orang aktivis menunjukkan bahwa opini publik itu benar bahwa Polri memang sedang "sakit" dan harus direformasi segera," kata AABB dikutip dari siaran tertulisnya, Jumat (14/11/2025).
Rilis yang juga ditandatangani ketua AABB Anton Minardi ini beranggapan, "sakitnya" Polri berimbas pada indikasi adanya reduksi dari Indonesia sebagai demokratis, menjadi negara otoriter.
"Penetapan ke delapan orang aktivis dan peneliti tersebut tak lepas dari adanya indikasi tersebut, dan hal ini kami nilai telah menimbulkan keresahan, ketidakpastian hukum, dan dugaan kuat adanya bentuk kriminalisasi terhadap hak berekspresi, berpendapat, serta penegakan keadilan yang seharusnya dijamin oleh konstitusi," imbuh AABB.
Karena hal tersebut, AABB mengingatkan:
A. Bahwa negara hukum (rechtstaat) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menjamin setiap warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil, tanpa diskriminasi.
B. Bahwa setiap tindakan penegakan hukum harus berlandaskan azas due process of law serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
C. Bahwa proses penetapan 8 tersangka oleh Polda Metro Jaya menunjukkan indikasi ketidakwajaran, baik dalam aspek substansi hukum, prosedural, maupun motif politik di baliknya, yang dapat mencederai prinsip keadilan dan independensi aparat penegak hukum.
D. Bahwa kriminalisasi terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan publik adalah bentuk kemunduran demokrasi serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Karena hal tersebut, maka AABB menyatakan pernyataan sikap sebagai berikut: :
1. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap warga negara, aktivis, akademisi, maupun tokoh masyarakat yang menjalankan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat secara damai.
2. Mendesak Kapolri dan Polda Metro Jaya untuk membatalkan penetapan 8 tersangka tersebut secara objektif, profesional, dan transparan sesuai prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
3. Mendorong Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komnas HAM, dan Ombudsman RI untuk melakukan pengawasan independen atas proses hukum yang sedang berlangsung.
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, organisasi profesi hukum, dan akademisi untuk bersatu menegakkan keadilan dan menolak praktik kriminalisasi yang dapat mengancam ruang kebebasan sipil.
5. Menegaskan komitmen Aliansi Advokat Bandung Bergerak untuk memberikan pendampingan hukum dan advokasi bagi pihak-pihak yang menjadi korban kriminalisasi tersebut.
'Kami menyerukan agar seluruh aparat penegak hukum mengembalikan marwah hukum sebagai instrumen keadilan, bukan alat kekuasaan," pungkas AABB. (rhm)


