Jakarta, Harian Umum - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) gagal mempertahankan penguatan yang dialaminya pada perdagangan Selasa (25/6/2024).
Data Bloomberg menunjukkan, pada penutupan perdagangan Rabu (26/6/2024), rupiah terkoreksi 38 poin atau 0,23% ke level Rp16.413/dolar AS.
Sementara data Investing menyebutkan, pada pukul 15:15 WIB, rupiah diperdagangkan pada posisi Rp16.428,2/dolar AS karena melemah 33,2 poin atau 0,20%.
Rupiah telah melemah sejak perdagangan dibuka dengan.jatuh ke Rp16.442/dolar AS karena terkoreksi 67 poin atau 0,41%.
Di sisi lain, indeks dolar telah menguat sejak perdagangan dibuka dengan naik ke level 105,63.
Menurut Investing, sepanjang hari ini rupiah bergerak dalam rentang Rp16.395 - Rp16.456,2/dolar AS.
Seperti dilansir Bisnis, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, menguatnya dolar dipicu data inflasi AS pada Mei lalu yang menunjukkan tanda-tanda positif, meskipun tekanan harga masih relatif tinggi.
Di sisi lain, Indeks Manajer Pembelian (PMI) yang kuat sepanjang Juni juga mengindikasikan bahwa ekonomi AS masih tangguh, sehingga The Fed kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga tinggi secara lebih lama.
“Fokus minggu ini adalah pada data indeks harga PCE, ukuran inflasi pilihan The Fed, yang akan dirilis pada hari Jumat. Data ini diperkirakan akan menunjukkan inflasi sedikit menurun, namun tetap jauh di atas target tahunan 2%,” katanya, Selasa (25/6/2024).
Sementara itu, jajaran menteri China terlibat dalam dialog dengan pejabat Jerman terkait potensi pengurangan atau pencabutan tarif yang akan berlaku pada Juli mendatang. Pada saat bersamaan, Ibrahim menuturkan bahwa Kanada turut mempertimbangkan pembatasan impor kendaraan listrik dari China.
Keputusan itu sejalan dengan kebijakan AS dan Uni Eropa sehingga berisiko meningkatkan ketegangan perdagangan.
“Langkah ini dapat memperburuk hubungan yang sudah tegang antara China dan negara-negara Barat, yang telah membebani sentimen pasar Asia dalam beberapa sesi terakhir,” tuturnya.
Dari dalam negeri, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stabil pada 2025 dan tahun-tahun mendatang, dengan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 5,1% per tahun dari 2024 hingga 2026.
Proyeksi ini didorong oleh peningkatan belanja masyarakat, investasi bisnis, dan permintaan konsumen yang stabil.
Namun, Indonesia menghadapi tantangan dari meredanya lonjakan harga komoditas, peningkatan volatilitas harga pangan dan energi, serta ketidakpastian geopolitik.
Dalam perkembangan lain, kenaikan harga telah mendorong inflasi Indonesia mencapai 2,8% pada Mei 2024, naik dari 2,6% pada Januari 2024. Kondisi iklim yang buruk mengurangi hasil panen beras dalam negeri, mempengaruhi harga pangan secara luas.
“Bank Dunia memperkirakan Bank Indonesia akan mulai menurunkan suku bunga tahun depan, sementara pemerintah meningkatkan belanja sosial dan investasi publik di tengah penurunan pendapatan karena meredanya lonjakan harga komoditas,” tutur Ibrahim.
Pada April 2024, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25%. Kenaikan ini terjadi saat bank sentral negara-negara maju menunda penurunan suku bunga, memicu keluarnya portofolio dan arus investasi yang menyebabkan tekanan pada mata uang di Indonesia. (rhm)