Jakarta, Harian Umum– Pemerintah menemukan pelanggaran serius dalam peredaran beras di pasar, karena sebanyak 212 merek beras ternyata terbukti tidak sesuai standar mutu, berat, dan harga eceran tertinggi (HET).
Temuan ini merupakan hasil investigasi gabungan antara Kementerian Pertanian, Satgas Pangan, Kejaksaan, Badan Pangan Nasional, serta unsur pengawasan lain terhadap 268 merek di 13 laboratorium yang tersebar di 10 provinsi.
"Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti,” kata Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman di Jakarta, seperti dilansir kompas.com, Sabtu (28/6/2025).
Hasilnya, 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas HET, dan 21 persen memiliki berat yang tidak sesuai.
Amran menegaskan, pelanggaran ini sangat merugikan masyarakat dan mencederai integritas pasar pangan.
“Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan,” tegas Amran.
Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan produksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada 2025/2026, lebih tinggi dari target nasional 32 juta ton. Dengan produksi yang melimpah, seharusnya harga beras terkendali.
Namun, pemerintah justru menemukan praktik curang seperti pengemasan ulang beras subsidi SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) menjadi beras premium dengan harga lebih mahal.
Amran menjelaskan, hanya 20–40 persen beras SPHP yang dijual sesuai standar. Sisanya dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium atau medium, yang tentunya lebih mahal.
“SPHP yang dijual ke penyalur itu 20-40 persen dijual sesuai standar. Selebihnya dibongkar, dikemas ulang, dan dijual dengan harga premium,” ungkapnya.
Praktik ini dikategorikan sebagai bagian dari modus mafia pangan yang mencari untung dengan memanipulasi pasar.
“Kami sudah telepon Pak Kapolri dan Jaksa Agung. Kami sudah serahkan seluruh data dan temuan lengkap. Negara tidak boleh kalah dengan mafia pangan,” tegas Amran.
Kementerian Pertanian memperkirakan potensi kerugian akibat praktik ini mencapai Rp99 triliun.
Selain merugikan konsumen, pelanggaran ini juga mencederai kepercayaan terhadap program subsidi pangan pemerintah.
Karenanya, pemerintah memberikan waktu dua minggu, hingga 10 Juli 2025, bagi pelaku usaha untuk memperbaiki praktik distribusi beras. Jika tidak ada perbaikan, maka akan dilakukan tindakan hukum tegas.
“Mulai hari ini, tidak boleh lagi ada beras di atas HET, mutu tidak sesuai, atau berat dikurangi. Kalau tidak patuh, bersiaplah berhadapan dengan hukum,” ancam Amran. (man)