Jakarta, Harian Umum - Lembaga Pemantau Jakarta (LPJ) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengabaikan dan tidak menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) No.23 P/HUM/2024 yang mengubah ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020 menetapkan bahwa usia calon gubernur dan wakil gubernur paling rendah 30 tahun dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon, diubah menjadi paling rendah 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Putusan itu terbit atas gugatan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana atas pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020 tersebut.
"Putusan MA yang diambil secara kilat itu diduga mengandung banyak masalah dan dicurigai untuk mengakomodasi kepentingan politik pihak tertentu dalam Pilkada 2024," kata Ketua LPJ Asep Setiawan seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Minggu (9/6/2024).
Menurut dia, putusan itu dicurigai untuk mengakomodasi kepentingan politik pihak tertentu dalam Pilkada 2024, karena putusan terbit pada tanggal 29 Mei 2024, hanya 3 hari setelah gugatan didaftarkan Ketum Garuda Ahmad Ridha Sabana pada tanggal 27 Mei 2024. Padahal, proses gugatan di MA biasanya bisa makan waktu sebulan, bahkan berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
Selain itu, kata Asep, pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020 merupakan turunan dari pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) yang menyatakan; "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
Jadi, kata dia, meski MA mengubah ketentuan pada pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020, akan tetapi bunyi pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tetap, dan secara hirarki, posisi UU berada di atas Peraturan KPU.
“Karena itu, KPU harus mengabaikan putusan MA dan tetap berpegang pada UU Pilkada,” tegas Asep.
Menurut dia, akan menjadi preseden buruk jika KPU melaksanakan putusan MA, dan tentunya akan menjadi polemik sebagaimana terjadi ketika Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah norma pasal pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dari masyarakat bahwa usia Capres-Cawapres minimal berusia 40 tahun, diubah dengan ditambahkan peraturan alternatif berupa frasa berbunyi "atau yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah". Putusan ini membuat putra sulung Presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, dapat menjadi Cawapres di Pilpres 2024 dalam usianya yang masih 36 tahun.
"Jadi, kalau putusan MA itu digunakan KPUz pasti gaduh lagi. Apalagi, karena isunya putusan ini untuk memberi jalan agar Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, dapat mengikuti Pilkada sebagai Cagub atau Cawagub di usianya yang masih 29 tahun," kata Asep.
Seperti diketahui, Kaesang pernah diisukan akan maju di Pilkada Depok, Bekasi dan Surabaya. Belakangan, setelah putusan MA, Ketum PSI itu dikabarkan akan mengikuti Pilkada Jakarta.
Saat dikonfirmasi apakah akan maju di Pilkada, Kaesang menjawab dengan diplomatis
"Kalau ditanya saya maju atau tidak, tunggu kejutannya di bulan Agustus. Itu saja ya," kata dia di kantor DPP PSI, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2024). (rhm)