Jakarta, Harian Umum- Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah meminta Inspektorat memeriksa Badan Pengawas (BP) Perparkiran dan Kepala Unit Pengelola (UP) Perparkiran Tiodor Sianturi terkait kisruh di interal unit kerja perangkat daerah (UKPD) tersebut.
Pasalnya, meski UP Perparkiran diduga dikelola secara tidak profesional, namun BP Perparkiran terkesan tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
"Persoalan di UP Perparkiran ini antara lain bermula dari temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebesar Rp172 juta di UP Perparkiran akibat kelebihan pembayaran remunerasi pada 2015-2016. Karena temuan itu, remunerasi pegawai dipotong untuk menutupinya," ujar Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah kepada harianumum.com, Selasa (7/8/2018).
Ia menambahkan, jika Kepala UP mengklaim temuan itu mencapai Rp1,8 miliar sebagaimana diungkap pegawai, sehingga pada 15 Oktober-15 Desember 2017 remunerasi 278 pegawai tetap non PNS dipotong Rp2 juta untuk yang bekerja sebagai staf dan kordinator lapangan, serta Rp2-6juta/orang untuk yang bekerja sebagai asisten manajer dan manajer operasional sehingga pemotongan mencapai total Rp1,6 miliar, maka Inspektorat harus mengaudit UP Perparkiran untuk hal ini.
"Juga harus dicek apakah uang kelebihan bayar sebesar Rp172 juta sudah dikembalikan ke kas daerah atau belum. Kalau sudah, Kepala UP harus menunjukkan bukti penyetorannya," imbuh dia.
Amir juga meminta Inspektorat mengungkap kebenaran alasan Kepala UP Perparkiran sebagaimana juga diungkap pegawai, bahwa pemotongan dilakukan karena temuan BPK diakibatkan oleh kerugian yang ditanggung UP Perparkiran dalam pengelolaan 35 titik parkir milik PD Pasar Jaya, dan karena penerapan sistem Terminal Parkir Elektronik (TPS) mengalami defisit.
"Kalau alasan itu hanya suatu kebohongan, maka patut diduga pemotongan itu memiliki motif korupsi," tegasnya.
Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini mengingatkan bahwa di UP Perparkiran ada BP Perparkiran yang memiliki tugas dan fungsi mengawasi kinerja UP Perparkiran, dan memastikan bahwa UKPD itu dikelola secara profesional dan tidak melenceng dari aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kalau pegawai banyak mengeluh akibat berbagai kebijakan kepala UP yang dinilai sewenang-wenang dan lain-lain, kita bisa pertanyakan; apa saja kerja BP? Kenapa UP Perperkiran menjadi begitu? Apa BP tutup atau saja karena mendapat keuntungan dari Kepala UP Parparkiran? Atau apa?" katanya.
Amir juga mengingatkan kalau jumlah pimpinan dan anggota BP Perparkiran lumayan banyak, yakni tujuh orang, dan rata-rata di antara mereka digaji Rp17 juta/bulan.
"Karena itu, Inspektorat juga harus memeriksa BP Perparkiran. Jika terbukti mereka tidak bekerja sesuai Tupoksi (tugas pokok dan fungsi), rekomendasikan kepada Gubernur agar dicopot," katanya.
Amir juga meminta Inspektorat mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk Kepala UP Perparkiran jika terbukti wanita itu berlaku sewenang-wenang dan diduga kuat melakukan korupsi.
Seperti diberitakan sebelumnya, pegawai UP Perparkiran mengeluh karena pimpinan mereka, Tiodor Sianturi, berlaku sewenang-wenang kepada mereka.
Menurut mereka, gara-gara hasil audit BPK pada 2017 menemukan kerugian sebesar Rp1,8 miliar, pada 15 Oktober-15 Desember 2017 remunerasi mereka dipotong Rp2 juta untuk yang bekerja sebagai staf dan kordinator, dan Rp2-6 juta untuk asisten manajer dan manajer operasional, sehingga total remunerasi yang dipotong mencapai Rp1,6 miliar.
Pada 18 Juli 2018, remunerasi mereka dipotong lagi hanya gara-gara pemasukan pada Juni 2018 anjlok, sehingga dikhawatirkan kembali menjadi temuan BPK. Besaran pemotongan sama dengan pemotongan pada 15 Oktober-15 Desember 2017.
Padahal, menurut Ragil, salah satu pegawai tetap non PNS BP Perparkiran, Juni 2018 merupakan momen Ramdhan dan cuti panjang Lebaran, sehingga wajar jika pemasukan anjlok.
Pegawai juga mengeluh karena sejak Tiodor dilantik menjadi UP Perparkiran pada awal 2016, selama hampir tiga tahun uang pembelian seragam untuk 2.600 juru parkir (Jukir) tidak dikucurkan, sehingga para Jukir itu membeli seragam dari Korlap di wilayahnya masing-masing.
"Pembayaran THR juga bermasalah, karena pada 2018 ini saja, hingga sekarang THR sekitar 10% dari 2.600 Jukir belum dibayarkan. Sementara yang lain dibayar terlambat hingga lebih dari sebulan," imbuh Ragil lagi.
UP Perparkiran juga diduga melakukan korupsi saat membeli 201 unit TPE dengan harga Rp143 juta/unit atau total Rp25 miliar, karena pembelian sebanyak itu tidak mendapat diskonto dari pabrikannya di Malaysia yang biasanya sebesar 10%, dan juga tidak ada fee sebesar 2,5%.
Selain itu, dari 201 TPE yang dibeli, hanya 30% yang dapat dioperasikan secara efektif.
Pegawai sempat mempertanyakan kinerja Kepala Dinas Perhubungan Andri Yansyah, karena meski UP Perparkiran di bawah Dishub, Andri juga tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki kondisi di internal UP Perparkiran.
Soal BP Perparkiran, saat berbincang dengan harianumum.com pada Jumat (3/8/2018) lalu, Ragil mengatakan kalau kantor BP Perparkiran yang berada di area kantor pusat UP Perparkiran di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, selalu kosong.
"Orang-orang BP yang berjumlah tujuh orang itu jarang ke kantor. Ruangannya selalu kosong," katanya. (rhm)