Jakarta, Harian Umum - Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP) telah menyiapkan surat usulan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka kedua untuk DPR/MPR, dan jika tidak ditindaklanjuti juga, FPP TNI akan menduduki DPR.
'FPP TNI sudah menyiapkan surat kedua untuk DPR/MPR, karena kita ingin proses pemakzulan ini dilakukan secara konstitusional. Kalau nanti surat yang dikirim juga tak direspon, maka FPP TNI akan menduduki DPR atau datang untuk meminta kejelasan mengapa tidak dibahas dalam sidang paripurna," kata inisiator FPP TNI Dwi Tjahjo Soewarsono kepada harianumum.com di Mabes Polri, Rabu (9/7/2025).
Soal adanya video yang beredar, yang memberi isyarat bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak berkenan memakzulkan Gibran karena Prabowo mengaku dirinyalah yang meminta dan menginginkan Gibran sebagai Cawapresnya di Pilpres 2024, Dwi mengakui kalau sebelum FPP TNI menggelar acara silaturahmi dengan tokoh masyarakat pada tanggal 17 April 2025 di Kelapa Gading, Jakarta Utara, di mana di situ dibacakan pernyataan sikap dan tuntutan FPP TNI yang salah satunya meminta Prabowo agar memakzulkan Gibran, Dwi menjelaskan kalau sebelum acara itu digelar, pihaknya telah mengirimkan pernyataan sikap itu, akan tetapi tidak direspon
"Kita kirimkan bulan Maret 2025, tapi karena tidak direspon, sehingga acara itupun kita selenggarakan," katanya.
Soal adanya video Prabowo itu, Dwi menyikapinya secara positif.
"Kalau Prabowo sampaikan itu kita tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, apakah sungguh-sungguh akan mempertahankan Gibran untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai Wapres, atau sekedar menenangkan Pak Jokowi," katanya.
Dwi membeberkan kesulitan yang dialami pihaknya dalam menyelenggarakan acara tersebut, karena sempat ditolak di dua lokasi.
"Awalnya kita ingin menyelenggarakan acara itu di Halim, akan tetapi dibatalkan KASAU (Kepala Staf Angkatan Udara) dengan alasan acara itu merupakan agenda politik. Bayangkan, KASAU langsung yang batalkan, padahal kita sudah bayar untuk menyewaan tempatnya. Lalu yang kedua di Balai Sudirman di Jalan Dr. Sahardjo, kita ditolak," bebernya.
Ketika disinggung soal adanya sekelompok purnawirawan TNI, di antaranya Wiranto yang mantan Watipres di era pemerintahan Jokowi, yang seolah mengatakan bahwa FPP TNI organisasi purnawirawan yang tidak resmi, karena kata mereka, organisasi purnawirawan yang resmi adalah PEPABRI, LVRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri dan PPRIP, begini jawaban Dwi;
"Soal resmi atau tidak resmi, itu tidak menghalangi warga Indonesia, termasuk FPP TNI, utk menyampaikan usulan ke DPR".
Sebagaimana surat yang sudah disampaikan ke DPR dan hingga kini surat itu belum.dibahas DPR dalam sidang paripurna, Dwi menjelaskan, pihaknya mengusulkan pemakzulan Gibran karena selain tidak punya kapasitas dalam memimpin sebuah negara, juga karena duduknya Gibran sebagai Wapres dari proses yang melanggar aturan perundang-undangan dan konstitusi.
"Gibran bisa mengikuti Pilpres 2024 sebagai Wapres karena tindakan MK (Mahkamah Konstitusi) yang melampaui kewenangannya, karena MK bukan lembaga yang punya kewenangan membuat, merevisi ataupun membatalkan sebuah undang-undang, karena kewenangan itu ada di DPR," jelas Dwi.
MK, lanjutnya, sesuai UUD 1945 (hasil amandemen, red), memiliki empat kewenangan, yakni:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
"Tapi dalam kasus Gibran, melalui putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengubah norma pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan mengizinkan siapapun menjadi Capres/Cawapres meski belum berusia 40 tahun asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang didapat dari hasil.Pemilu, termasuk kepala daerah, sehingga Gibran yang saat putusan itu terbit masih menjabat sebagai walikota Solo dan berusia 36 tahun, bisa menjadi Cawapres di Pilpres 2024. Putusan ini jelas mengangkangi Konstitusi," tegasnya.
FPP TNI juga mengendus adanya unsur KKN (Korupsi, Koalisi dan Nepotisme) dalam putusan itu, karena majelis hakim yang menerbitkan putusan itu, yang dipimpin Anwar Usman, tentunya tahu bahwa putusan itu bermasalah
'Persoalan lainnya adalah karena Anwar Usman adalah pamannya Gibran, karena Anwar Usman adalah suami adinya Jokowi yang bernama Idayati," jelas Dwi.
Mantan hakim adhoc PHI Mahkamah Agung ini menambahkan, terbitnya putusan MK Nomor 90/PUU+XXI/2023 dan status Anwar Usman sebagai pamannya Gibran, bersinggungan dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 mengatur bahwa 'Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara".
Pasal 17 ayat (6) UU Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa "Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
'Dengan adanya ketentuan pasal 17 ayat (5) dan (6) seharusnya Anwar Usman, baik sebagai ketua majelis hakim maupun ketua MK wajib mengundurkan diri karena ada hubungan keluarga dengan Gibran. Oleh putusan MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) Anwar Usman dinyatakan melanggar etika dan kode etik hakim, sehingga jabatannya sebagai ketua MK dicopot, sesuai pasal 23 ayat (2) huruf h UU Nomor 7 Tahu. 2020,' sambungnya.
Dwi menambahkan, sesuai Pasal 17 ayat (7) UU Nomor 48 Tahun 2009, seharusnya apa yang dilakukan MKMK ditindaklanjuti karena putusan.MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan cacat hukum, akan tetapi tidak dilakukan oleh MK hingga saat ini.
Pasal 17 ayat (7) UU Nomor 48 Tahun 2009 mengatur bahwa "Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda".
"Karena kewajiban pelaksanaan Pasal 17 ayat (7) UU Nomor 48 Tahun 2009 sudah lewat (karena Gibran sudah jadi Wapres), maka pemeriksaan kembali putusan MK Nomor 90 dapat diusulkan masyarakat, termasuk oleh FPP TNi. Itu dasarnya kami mengusulkan.pemakzulan Gibran," pungkas Dwi. (rhm)







