Jakarta, Harian Umum - Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran memuat sejumlah ketentuan yang akan merugikan insan pers.
Pasalnya, RUU terbaru versi Maret 2024 itu melarang penayangan ekslusif jurnalistik investigasi dan juga melarang 10 isi/konten siaran karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah Standar Isi Siaran (SIS).
Larangan-larangan itu tercantum pada pasal 50B ayat (2).
Seperti dilansir kompas.com, Senin (13/5/2024), yang dilarang antara lain isi/konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.
Konten siaran yang subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran, juga dilarang.
Pasal 50B ayat (3) draf ini juga diatur mengenai sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2) tersebut, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Namun, sebelum penjatuhan saksi administratif, lembaga penyiaran diberikan kesempatan untuk menjelaskan dan berhak untuk menjawab.
Tak hanya itu, pada Pasal 50B ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.
Untuk pengenaan sanksi, dalam draf RUU disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat membentuk panel ahli dalam melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran SIS dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3).
Pasal 48 ayat (2) mengatakan bahwa penyusunan, penetapan sampai sosialisasi P3 dilakukan KPI setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR.
Sementara Pasal 50A ayat (3) mengatur bahwa SIS disusun dan ditetapkan oleh KPI setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak draft RUU Penyiaran karena dinilai mengancam kebebasan pers.
Pengurus Nasional AJI, Bayu Wardhana mengatakan, KPI disebut menyusun, menetapkan, menerbitkan, mensosialisasikan P3 kepada lembaga penyiaran, penyelenggara platform digital penyiaran dan masyarakat umum setelah konsultasi ke DPR.
Padahal, berdasarkan undang-undang yang saat ini masih berlaku, KPI sebagai lembaga independen menyusun sendiri pedoman itu, tanpa harus konsultasi ke DPR.
“Di (Rancangan) UU ini mengamanatkan kalau mau mengubah atau membuat harus tanya dulu sama DPR. Bayangkan, ini ada proses politik yang sebenarnya penyiaran itu jangan dibawa ke politik lah,” tegas Bayu pada 24 April 2024. (man)