Jakarta, Harian Umum - Guru Besar Hukum Tatanegara Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta yang juga duduk dalam Dewan Pakar Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), John Pieris, menilai bahwa legislatif dan yudikatif telah dilumpuhkan oleh penguasa Indonesia saat ini.
John tidak menjelaskan secara gamblang alasan mengapa kedua lembaga dalam teori Trias Politica itu dilumpuhkan, tetapi dia mengatakan bahwa penguasa tersebut sedang mencoba melahirkan kembali sentralisme kekuasaan.negara.
John juga tidak secara gamblang menjelaskan siapa penguasa dimaksud, tetapi jika dikaji dari pernyataannya, jelas sekali kalau yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
"Sekarang terjadi kelumpuhan dua kekuasaan dalam teori Trias Politica, yaitu legislatif dan yudikatif. Bukan dilumpuhkan oleh eksekutif, tapi oleh seorang penguasa yang menoba untuk melahirkan kembali sentralisme kekuasaan negara," katanya dalam diskusi bertajuk "Nafas Demokrasi, Roh & Jiwa Kedaulatan Rakyat" yang diselenggarakan Koalisi Nasional Penyelamat Demokrasi (KNPD) dan Front Penyelamat Reformasi Indonesia (FPRI) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/5/2024).
Ia membeberkan indikasi mengapa Jokowi dinilai mencoba membangun sistem sentralistik, karena saat ini di bawah kepemimpinan Jokowi struktur dan sistem politik berubah, tetapi kulturnya tidak, karena saat ini yang memilih hakim-hakim Mahkamah Agung adalah Presiden, tak bisa lagi diusulkan oleh Mahkamah Yudisial.
"Fit and proper tes, rapat anggota (DPR) itu siapa yang menentukan ketua? Jadi, itu yang menentukan Presiden, baik itu menentukan ketua MA maupun ketua MK," katanya.
Ia menyebut, di era Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, Presiden Soeharto bahkan bisa menentukkan siapa ketua umum PDI, siapa ketua umum Persija.
"Kita meninggalkan itu, muncul reformasi dengan tagline kontra hegemoni dan monopoli, dan kita berhasil melakukan reformasi konstitusi dan politik,' katanya.
Namun, John mengakui kalau amandemen UUD 1945 yang dilakukan hingga empat kalau pada 1999-2002 sebenarnya belum menghasilkan konstitusi yang sempurna, sehingga harus dilakukan amandemen yang kelima.
"Kami kebetulan diangkat dengan 31 orang untuk menjadi Komisi Konstitusi pada waktu itu dengan Amien Rais. K,ita usulkan rancangan amandemen kelima, tetapi sampai sekarang itu tidak dilanjuti oleh MPR,' imbuhnya.
John mengakui kalau saat ini BPIP bersama BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) sedang melakukan kajian dengan agenda utama menyelamatkan Demokrasi Pancasila, dan dia mengakui dari tiga kali rapat yang telah diselenggarakan, diketahui bahwa lumpuhnya legislatif dan yudikatif, serta sistem sentralistik membuat BPIP dan BRIN melihat bahwa demokrasi di Indonesia sudah rusak.
"Catatan saya yang kedua, politik kita, demokrasi kita yang sedang berjalan ini bukan lagi demokrasi yang arif dan bijaksana. Kerakyatan yang dipimpin, kerakyatan itu saya terjemahkan demokrasi, oleh hikmat kebijaksanaan, penguasa sudah tidak berhikmat lagi, tidak bijaksana lagi, seenaknya menentukan sikap, seenaknya menentukan keputusan-keputusan politik, bahkan memengaruhi dan melemahkan dua kekuasaan utama dalam teori Trias politica itu (legislatif dan yudikatif)," katanya.
Ia menyebut, dalam praktik demokrasi di Indonesia, kedaulatan rakyat hanya berumur 3 menit, yakni saat rakyat menggunakan hak memilihnya di bilik suara.
"Keluar dari situ sudah dimiliki oleh para Caleg dan Capres," katanya.
John menegaskan bahwa hal ini tak boleh dibiarkan karena bisa berimbas pada matinya Demokrasi Pancasila.
"Kita harus melakukan pendobrakan atas kekuasaan yang sangat sentralistik itu yang dipegang oleh satu orang itu, tidak bisa kita biarkan, (karena) kalau kita biarkan ini, berarti kita biarkan demokrasi Pancasila itu mati," katanya.
John bahkan mengatakan bahwa seluruh elemen masyarakat, yaitu buruh, mahasiswa, petani, nelayan, sopir-sopir, harus melakukan pembangkangan sosial.
"Dan saya kira selain melakukan gerakan besar itu, beranikah kita melakukan semacam resolusi atau rekomendasi critical kepada lembaga-lembaga negara yang menjadi pusat-pusat kekuasaan, kepada ketua MK kepada ketua DPR, kepada ketua DPD, kepada ketua MPR, kita ke sana," imbuhnya.
Ia bahkan menyarankan agar rakyat meniru Gerakan Petisi 50 yang berhasil membuat penguasa Orde Baru, yakni Presiden Soeharto, mengundurkan diri.
Meski demikian, John juga menyarankan agar rakyat jangan bergerak sendiri.
'Kita mencari dukungan juga dari para jenderal yang masih idealis. Jangan biarkan kita bergerak sendiri, harus ada supporting sistem yang bergerak juga untuk mendukung kita," katanya.
Ia juga mengingatkan kalau gerakan reformasi pada 1998 berhasil karena kampus-kampus solid.
Seperti diketahui, Jokowi oleh banyak pengamat dan pakar, seperti almarhum ekonom Rizal Ramli, pengamat politik Marwan Batubara, Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah, Tokoh Pergerakan Sri Bintang Pamungkas dan lain-lain memang dinilai telah membuat kerusakan yang luar biasa.
Menurut mereka, semua ini terjadi akibat amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002 yang menghilangkan ruh Pancasila dari batang tubuh UUD itu, dan mengubah Indonesia menjadi negara liberal kapitalis.
Pemilihan langsung yang diselenggarakan berdasarkan amanat UUD 2002 menimbulkan sistem demokrasi dengan biaya tinggi yang membuka peluang bagi para pemodal untuk membiayai para peserta Pemilu, termasuk para Capres, dan kemudian mengendalikannya sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan oligarki, ketika peserta yang dibiayai ya itu berkuasa. Inilah yang terjadi kepada Jokowi, sehingga kebijakan-kebijakannya dinilai banyak yang merugikan rakyat dan negara, tapi menguntungkan oligarki. Salah satunya Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Karena oligarki pula demokrasi rusak, karena setelah masa jabatan Jokowi selesai pada Oktober 2024, oligarki itu tentu tetap ingin berkuasa dengan berbagai cara, termasuk dengan mengusung "boneka baru" dan mencurangi Pilpres agar lawan politik bonekanya tidak bisa memenangkan Pilpres itu. (rhm)