Jakarta, Harian Umum - Rencana pemerintah menaikkan target rasio utang menjadi 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) disorot.
Pasalnya, kebijakan itu dinilai kebablasan dan berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang.
"Kita harus berhati-hati dalam mengelola utang negara. Peningkatan rasio utang yang drastis tanpa perencanaan yang matang dapat menyebabkan krisis kepercayaan dari investor dan lembaga keuangan internasional," ujar Pegiat Koalisi Anti Utang (KAU) Edo Segara Gustanto seperti dilansir Sindonews, Sabtu (13/7/2024).
Dia menjelaskan, peningkatan rasio utang yang signifikan dapat menimbulkan berbagai risiko, termasuk meningkatnya beban pembayaran bunga utang yang dapat menggerus anggaran negara.
Selain itu, peningkatan ratio itu juga berpotensi dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi.
"Dengan utang yang semakin besar, pemerintah mungkin akan kesulitan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat," tegas Edo.
Meskipun pemerintah berargumen bahwa peningkatan utang diperlukan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur dan program sosial yang mendesak, Edo menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana tersebut. Ia mengusulkan agar pemerintah memperkuat pengawasan dan evaluasi terhadap setiap proyek yang didanai dari hutang, guna memastikan efektivitas dan efisiensinya.
"Kita harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam digunakan dengan bijak dan tepat sasaran. Tanpa pengawasan yang ketat, kita berisiko terjebak dalam lingkaran hutang yang sulit diatasi," kata peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.
Rencana peningkatan rasio utang ini masih dalam tahap wacana. Edo beranggapan pemerintah dan para legislator dapat mempertimbangkan dengan matang segala risiko yang mungkin timbul sebelum mengambil keputusan final tersebut. (man)