Jakarta, Harian Umum - Tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kampar, Riau, diduga kuat tengah mengkriminalisasi Zulkarnaini, direktur PT Widya Karya yang juga terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Meubelair untuk SD dan SMP di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdik) Kampar pada tahun anggaran 2015.
Pasalnya, selama perkara ini digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, ditemukan banyak kejanggalan. Bahkan keterangan para saksi yang dihadirkan Tim JPU tidak memperkuat dakwan bahwa terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena keterangan para saksi itu justru meringankan terdakwa.
"Kami menduga ada faktor X dalam kasus ini, tidak murni persoalan hukum. Mungkin ada pengusaha yang sakit hati karena klien kami yang memenangkan tender proyek itu, sehingga kasus ini pun bergulir di pengadilan," jelas Muhammad Zainuddin, salah satu tim kuasa hukum terdakwa kepada harianumum.com di Jakarta, Rabu (21/12/2017).
Pengacara dari firma Nusantara Sepakat (NS) & Associates ini mengakui, pelapor kasus ini bukan masyarakat maupun pejabat di lingkungan Disdik yang kini bernama Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahrga Kabupaten Kampar sebagai pemilik proyek yang ditangani Zulkarnaini, melainkan pegawai di bidang intelijen Kejari Kampar.
"Sesuai ketentuan (dalam KUHP), pelapor suatu kasus memang bisa siapa saja dan dari lembaga mana saja, tapi yang jadi masalah adalah bagaimana cara jaksa menangani kasus ini. Kami bahkan sampai melaporkan saksi ahli yang dihadirkan JPU ke Polda Kampar karena kami duga telah memberikan keterangan palsu," imbuhnya.
Kasus pengusaha berusia 41 tahun itu bermula ketika dia mengikuti lelang pengadaan meubelair senilai Rp3,3 miliar di Disdik Kabupaten Kampar dengan menggunakan tiga perusahaan milik rekannya, yakni CV Embun Suri, CV Wahyu Karya Utama, dan CV Payung Negeri. Pengusaha muda itu menang, dan proyek dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai spek (spesifikasi).
Namun proyek ini kemudian ternyata masuk ke Kejari Kampar dengan tiga terlapor, yakni Zulkarnaini, Arief Kurniawan yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Disdik Kampar, dan Nasrul Zein yang kala itu menjabat sebagai kepala Disdik, sekaligus merupakan pejabat pengguna anggaran (PA).
"Arief sudah divonis 1,6 tahun, sementara Nasrul masih seperti klien kami; kasusnya masih bergulir di pengadilan," imbuh Zainuddin.
Dari data yang dihimpun, inilah di antara saksi-saksi yang justru meringankan Zulkarnaini:
 1. Darwin (ketua Panitia Penerima Hasil Pekerjaan/PPHP)
 2. Kholid (Sekretaris PPHP)
 3. Arlis AS (anggota PPHP)
 4. Abdul Alek (anggota PPHP) 
 5. Antonius Wicaksono (supplier)
 6. Ardiansyah (distributor)
Dalam kesaksiannya, Darwin mengatakan kalau semua tim sudah turun ke lapangan untuk memantau dan mengecek barang hasil pekerjaan Zulkanaini ke sekolah-sekolah yang mendapat bantuan meubelair, dengan berpedoman pada brosur yang memuat spesifikasi barang.
   
 Hasilnya, baik dari segi volume dan spek, 100% memenuhi standar. Hanya saja ketika BA ditandatangani, yang meneken bukan tim PPHP dengan Zulkarnaini, melainkan tim PPHP dengan ketiga direktur CV yang digunakan Zulkarnaini untuk mengikuti lelang. 
  
 "Jadi, jelas sekali kalau tak ada kerugian negara dalam kasus ini, sehingga pengenaan delik pidana korupsi kepada klien kami oleh JPU, menurut kami itu merupakan sesuatu yang tak masuk akal yang menunjukkan bahwa tim JPU yang dipimpin Kasie Pidana Khusus Kejari Kampar, Ostar Al Pansri, itu bukan hanya telah bertindak unprofessional conduct, namun juga gagal paham terhadap pasal-pasal yang dijeratkan kepada klien kami, yakni pasal 2 ayat (1) jo pasal 3 UU Tipikor," tegas Zainuddin.
Meski demikian advokat ini mengakui kalau penggunaan tiga CV milik orang lain oleh kliennya merupakan tindakan yang melanggar peraturan lelang sebagaimana diatur dalam Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Namun, kata dia, sanksi untuk pelanggaran itu adalah administratif, misalnya dikenakan denda atau di-blacklist sehingga tak dapat lagi mengikuti lelang di Pemkab Kampar, bukan pidana.
 Sederet Kejanggalan
Dari keterangan pria berkulit putih ini, berikut adalah kejanggalan-kejanggalan yang terungkap selama persidangan Zulkarnaini digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru:
1. Penggunaan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor untuk dakwaan primer dan pasal 3 UU Tipikor untuk dakwaan sekunder, masih menggunakan kata “dapat”. Padahal frasa "dapat" dalam pasal-pasal itu sudah dianggap inkonstitusionl berdasarkan putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, sehingga penggunaan frasa “dapat” itu bukan hanya menimbulkan tidakpastian hukum dan dugaan kriminalisasi, namun juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus diartikan seperti yang dibaca (lex stircta) dan tidak mengandung multitafsir (lex certa).
2. JPU menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan Zulkarnaini yang dalam dakwaan disebutkan sebesar Rp3493.886.650. Padahal, pasal 32 ayat (1) UU Tipikor dinyatakan: "Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.
Sementara pasal 10 ayat (1) UU BPK dan pasal 3 Perpres 192 Tahun 2014 tentang BPKP menegaskan: “Yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)”.
3. Hanya ada satu saksi ahli yang dihadirkan JPU di persidangan, yakni Ketua Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) Riau, Ide Aktiofiono. Namun setelah berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ahli yang dibuat pada 9 September 2017 ini dikaji dan diteliti, ditemui banyak kejanggalan.
Misalnya, keterangan saksi ini ternyata diambil penyidik Kejari Kampar pada pukul 14:00-17:00 WIB, sementara saksi itu disumpah pada pukul 17:00 WIB. Padahal jika mengacu pada ketentuan KUHAP, saksi harus disumpah dulu, baru diambil keterangannya.
Selain kejanggalan ini, keterangan saksi ahli itu pada poin 6-8 BAP ternyata tidak mengacu pada aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berlaku saat ini (Perpres No 54 Tahun 2010), karena masih mengacu pada aturan hukum yang sudah tidak berlaku lagi (Keppres No 80 Tahun 2003), dan aturan hukum yang terkait dengan jasa konstruksi (PP No 51 Tahun 2008).
Ketidaktepatan saksi ahli menggunakan Keppres No 80, jelas Zainuddin, karena sejak 2008 lelang pengadaan barang dan jasa telah menggunakan sistem online (e-procurement) melalui LPSE, tidak lagi secara manual.
"Pada poin 9 BAP, pertanyaan yang diajukan penyidik Kejari kepada saksi ahli bahkan sudah mengarahkan untuk mentersangkakan klien kami, bukan mengarah pada keahlian yang dimiliki saksi ahli. Dan jawaban saksi ahli itu pun melebihi kapasitasnya sebagai ahli pengadaan barang dan jasa, karena dia memberikan jawaban yang seharusnya hanya bisa diberikan ahli hukum," tegas Zainuddin.
Meski demikian pengacara ini mengatakan, dari semua keterangan saksi ahli itu dalam BAP, yang terparah adalah keterangan dimana si saksi ahli menyebut nama tersangka kasus dimana saat itu ia dimintai keterangan adalah Misnawati, padahal seharusnya Zulkarnaini.
"Misnwati itu terdakwa kasus tindak pidana korupsi penggunaan anggaran tahun 2014 di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, yang disebut-sebut memiliki rekening gendut," jelasnya.
Karena keterangan-keterangannya yang tak akurat itu, pada 29 November 2017 Zainuddin dan kawan-kawan dari NS & Associates melaporkan saksi ahli itu ke Polda Kampar dengan tuduhan memberikan keterangan palsu.
"Karena itu, atas dasar semua kejanggalan yang muncul selama persidangan dan ketidakakuratan JPU dalam membuat dakwaan, kami berharap majelis hakim mengeluarkan putusan sesuai pasal 81 KUHP, yakni menunda sidang perkara ini hingga waktu yang tidak ditentukan," tegas Zainuddin.
Ia menganggap hal ini perlu dilakukan majelis hakim karena selain demi rasa keadilan, juga karena apa yang terungkap di persidangan agaknya membuat Tim JPU yang terdiri dari delapan orang itu merasa mulai terpojok, sehingga di antara mereka ada yang mengintimidasi Zulkarnaini.
"Tujuannya agar klien kami itu tidak lagi menjadikan kami sebagai kuasa hukumnya," tegas Zainuddin.
Pasal 81 KUHP berbunyi: "Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan pra-yustisia, menunda daluarsa". (rhm)



 
                                



