Jakarta, Harian Umum- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang diketuai Sumpeno dinilai telah melakukan kesalahan fatal saat memvonis terdakwa perkara dugaan korupsi di Yayasan Dana Pensiun (Dapen) PT Pertamina (Persero), pada 29 Januari 2018 silam.
Pasalnya, kasus yang mendudukan mantan presiden direktur (Presdir) yayasan itu, Muhammad Helmi Kamal Lubis (MHKL) sebagai terdakwa, dinilai bukan delik pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), melainkan merupakan kasus penggelapan sebagaimana diatur pada pasal 372 KUHPidana.
"Dalam hal ini majelis hakim telah tidak cermat dalam menyikapi dakwaan dan tuntutan JPU (jaksa penuntut umum), sehingga mengakibatkan hilangnya rasa keadilan bagi terdakwa," Jelas Supardi Achmad, pendiri SA Institue, saat memaparkan hasil eksaminasinya atas putusan itu di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Ia menyampaikan hal ini bersama anggota tim eksiminasi yang terdiri dari Ketua Himpunan Magister Hukum Indonesia (HPMI) Fadli Nasution, dan praktisi hukum Pahrozi.
Ia mencatat ada tiga kesalahan fatal yang dilakukan majelis hakim.
Pertama, uang Yayasan Dapen PT Pertamina bukan uang negara, karena uang itu bersumber dari gaji pegawai BUMN tersebut, bukan dari APBN.
Kedua, karena uang yayasan bukan uang negara, maka dakwaan dan tuntutan JPU yang menjerat MHKL dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor, tidak tepat karena pasal-pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat dikenakan delik pidana korupsi jika menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, MHKL juga telah pensiun dari PT Pertamina, sehingga dia bukan penyelenggara negara.
Ketiga, proses penanganan kasus ini juga dinilai bernuansa diskriminasi karena seorang broker saham yang terlibat dalam kasus ini, yaitu BH, tidak ikut dipidana.
"Padahal, dia setidaknya dapat dijerat dengan pasal 55 KUHP tentang penyertaan," imbuh Supardi.
Hal senada dikatakan Fadli. Dia bahkan mengatakan kalau tindakan JPU yang dalam dakwaan serta tuntutan menjerat MHKL dengan pasal 11, 12 dan 12a UU Tipikor tentang penerimaan suap atau gratifikasi, juga tidak tepat karena pasal-pasal itu menetapkan bahwa yang dapat masuk dalam kategori penerima suap atau gratifikasi adalah penyelenggara negara, dan MHKL tidak masuk kategori itu.
"Jadi, kami melihat banyak sekali kejanggalan dalam kasus ini, termasuk soal jumlah kerugian yang mengacu pada hasil audit BPK. Padahal yayasan itu merupakan lembaga publik, bukan lembaga negara. Jadi, seharusnya penghitungan kerugian dilakukan oleh auditor independen, bukan BPK," imbuhnya.
Kronologi
Berdasarkan dakwaan dan tuntutan JPU, diketahui kalau MHKL dipidana karena mengkorupsi uang Yayasan Dapen PT Pertamina yang menurut hasil udit BPK mencapai Rp599,4 miliar.
Kasus bermula pada 22 Desember 2014 hingga April 2015 bertempat di kantor Dapen Pertamina di Jalan MI Ridwan Rais 7A Jakarta Pusat. Kala itu MHKL membeli saham PT Sugih Energy Tbk (SUGI) sebanyak 2.004.843.140 lembar tanpa didahului kajian, tidak mengikuti Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Saham sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presdir Dapen PT Pertamina, serta tanpa persetujuan dari Direktur Keuangan dan Investasi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Presdir Dapen PT Pertamina.
Pada 7 April 2015, MHKL memerintahkan saksi Tamijan yang menjabat sebagai asisten/sekretaris Presdir membuat surat instruksi untuk menyerahkan saham kepada broker PT Sucorinvest Central Gani yang dibuat tidak melalui system SIAPDANA, melainkan dibuat secara manual, dan terjadi kesalahan input, bahkan terlambat diterima Bank CIMB Niaga Custody, sehingga telah melewati batas waktu input transaksi.
Akibat keterlambtan tersebut, transaksi tidak dapat diinput dan tidak bisa diproses oleh Bank CIMB Niaga Custody, sehingga, terjadi kegagalan penyerahan saham kepada broker PT Sucorinvest Central Gani.
Kegagalan penyerahan saham ini membuat broker PT Sucorinvest Central Gani mengenakan denda ACS kepada Dapen Pertamina sebesar Rp11.956.024.791.
Setelah terjadi transaksi pembelian saham SUGI oleh Dapen PT Pertamina tersebut, MHKL menerima imbalan Rp42 miliar dan saham SUGI sebanyak 77.920.500 juta lembar, serta menerima Rp14 miliar dari PT Pratama Capital Assets Management, dan menerima marketing fee sebesarbRp7.200.000.000 dari PT Pasaraya International Hedonisarana.
Oleh JPU, HMKL didakwa dan dituntut karena dianggap melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3, pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saat tuntutan dibacakan, JPU yang berasal dari Kejaksaan Agung itu menghendaki MHKL dihukum 7 tahun penjara, membayar denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp53 miliar subsuder 3,5 tahun penjara.
Oleh majelis hakim yang diketuai Sumpeno, MHKL divonis 5,6 tahun penjara, membayar denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp42 miliar subsider 2 tahun penjara.
Majelis menilai, MHKL terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan JPU.
Lebih cocok kasus penggelapan
Praktisi hukum Pahrozi mengatakan, selama mengikuti perkara ini, ia juga menilai kalau tidak tepat jika kasus MHKL ini masuk kategori tindak pidana korupsi karena pasal-pasal yang dijeratkan tidak relevan dengan status yayasan yang merupakan lembaga publik, bukan lembaga negara, dan uang yayasan yang tidak masuk kategori uang negara.
"Ini kasus penggelapan, bukan kasus korupsi karena pelakunya bukan penyelenggara negara dan uang yang digunakan pun bukan uang negara," katanya.
Meski demikian ia berharap, di tingkat banding majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) akan lebih cermat, karena jika melakukan hal yang sama dengan majelis hakim Pengadilan Tipikor, akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum di Indonesia.
Suparji menilai, "keteledoran" majelis hakim Pengadilan Tipikor ini agaknya karena dipengaruhi "suasana berkopetisi" dalam penanganan kasus korupsi.
"Sebab sebagaimana kita tahu, kasus-kasus yang ditangani KPK semuanya berujung dengan vonis. Kejaksaan pun sekarang sepertinya begitu. Pokoknya kalau yang berbau kasus korupsi, tersangkanya tak boleh divonis bebas, harus dipenjara juga," pungkas dia. (rhm)