Jakarta, Harian Umum- Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, mengatakan, pasal 226 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu diuji-materikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasalnya, jika di masa depan kembali terjadi dimana seorang terpidana mengajukan peninjauan kembali (PK) tanpa melalui tahap banding dan kasasi seperti yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, penerapan hukum akan lebih adil.
"Jelas sekali kalau Ahok sengaja menghindari banding dan kasasi karena kalau ditolak, hukumannya bisa lebih berat dibanding vonis 2 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Karena itu dia by pass langsung ke PK," katanya kepada harianumum.com via telepon, Senin (26/2/2018).
Dijelaskan, dengan mengajukan PK, kemungkinan yang akan dihadapi Ahok hanya dua. Yakni, pengajuan PK-nya diterima, dan dia akan bebas. Atau pengajuan ditolak, namun hukuman tetap 2 tahun penjara atau bahkan mungkin dikurangi.
Sebab, pasal 226 ayat (3) KUHAP yang mengatur tentang PK menyatakan; " Pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula".
"Jadi, enak benar Ahok kalau pengajuan PK-nya diterima atau pun ditolak, sementara terpidana lain umumnya melalui proses banding dan kasasi sebelum masuk PK," imbuh pria berkacamata yang akrab disapa SGY itu.
Ia pun mengingatkan kalau terkait kasus penistaan agama yang menjerat Ahok, ada peraturan yang menetapkan bahwa terdakwa penistaan agama harus dihukum berat. Peraturan itu berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 11 Tahun 1964 tentang Penghinaan Terhadap Agama.
SEMA itu menyatakan, “Karena Agama merupakan unsur yang penting bagi pendidikan rokhaniah, maka Mahkamah Agung anggap perlu menginstruksikan, agar barang siapa melakukan tindak pidana yang bersifat penghinaan terhadap Agama diberi hukuman yang berat.”
"Karena itu saya pernah mewacanakan agar MA menolak PK Ahok dan memberinya hukuman maksimal sesuai pasal yang dikenakan kepadanya, yakni pasal 156a KUHP. Pasal ini mengancam terpidana dengan hukuman paling lama 5 tahun penjara," imbuhnya.
Seperti diketahui, setelah divonis 2 tahun penjara oleh PN Jakut pada 9 Mei 2017, Ahok sempat mengajukan banding, namun dicabut.
Pada 2 Februari 2018, dia mengajukan PK dan Senin (26/2/2018) pagi sidang perdananya digelar di PN Jakut.
Banyak praktisi hukum yang menyesalkan karena MA menerima pengajuan PK itu, karena Ahok tidak melalui proses banding dan kasasi. Umat Islam bahkan mendemo sidang itu karena curiga ada upaya untuk membebaskan Ahok.
Maklum, sebelum Ahok dipidana, umat Islam terpaksa berdemo berkali-kali karena ada kesan kalau kepolisian enggan menangani kasus ini.
Meski demikian Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Sapta Subrata, mengatakan, tak ada bukti (novum) baru dalam memori PK yang diajukan Ahok, karena kasus Buni Yani yang dijadikan dasar untuk mengajukan PK, merupakan dua delik yang berbeda.
"Kasus Ahok adalah kasus penistaan agama yang diatur dalam pasal 156a KUHP, sementara kasus Buni Yani merupakan pelanggaran terhadap UU ITE," katanya usai sidang perdana PK Ahok di PN Jakarta Utara, Senin (26/2/2018).
Ia bahkan membantah kalau majelis hakim PN Jakarta Utara telah melakukan kekhilafan saat memvonis Ahok dengan hukuman dua tahun penjara.
"Putusan hakim benar," tegasnya.
Menanggapi hal ini, SGY mengatakan kalau MA harus menolak pengajuan PK.
"Tak ada bukti baru berarti gak ada dasar yang menguatkan pengajuan PK," pungkasnya. (rhm)