Jakarta, Harian Umum - Perang udara antara Israel dengan Iran sejak 13 Juni 2025, dan diperpanas dengan serangan Amerika Serikat (AS) ke tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6/2025), dinilai berpotensi menyeret perekonomi global ke ambang krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pasalnya, ancaman penutupan Selatan Hormuz sebagai dampak dari perang itu, membuat harga minyak dunia terus menanjak, sementara pasar keuangan dan pasar saham global terguncang.
"Perang yang dikobarkan Israel terhadap Iran membakar Timur Tengah, ekonomi global berada di ambang krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata kolumnis Greg Pence seperti dilansir Middle East Monitor (MEMO), Senin (21/6/2025).
Media ini menyebut, serangan Israel terhadap infrastruktur utama Iran dan serangan balasan Teheran telah mengguncang pasar energi dan membunyikan lonceng peringatan bagi ekonomi AS, Israel, dan dunia yang lebih luas.
Selat Hormuz yang dilalui kapal-kapal pemasok 20% kebutuhan minyak dunia dan seperempat gas alam cair, terancam ditutup, dan kemungkinan terjadinya skenario seperti itu telah mendorong harga energi ke tingkat yang sangat tinggi.
Bagi Amerika Serikat yang sedang terbebani utang sebesar $37 triliun, inflasi kronis, dan kelelahan yang meluas akibat keterlibatan dalam konflik Israel-Iran, dapat berarti bunuh diri secara ekonomi dan geopolitik.
Yang lebih penting dari itu adalah perang Iran-Israel telah membahayakan pasar energi global.
Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz dipicu oleh serangan Israel yang juga menyasar infrastruktur minyak Iran, alih-alih menghancurkan fasilitas nuklir negara itu, termasuk Pulau Kharg yang memproduksi lebih dari 90 persen ekspor minyak Iran, sehingga mengganggu pasokan global.
Menurut Bloomberg, harga minyak mentah Brent naik dari $72 pada awal Juni 2025 menjadi $78 per barel, dan analis Goldman Sachs memperingatkan bahwa penutupan Hormuz dapat mendorong harga menjadi $150 atau bahkan lebih tinggi.
Bagi AS, guncangan minyak seperti itu akan memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Setiap kenaikan harga minyak sebesar $10 meningkatkan inflasi konsumen sebesar 0,5%. Jika harga mencapai $130 per barel, inflasi di AS dapat melonjak hingga 5,5 persen, yang memaksa Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga, suatu tindakan yang dapat menggagalkan pemulihan ekonomi AS yang memang sedang rapuh.
Harga bensin, yang saat ini sekitar $4 per galon, dapat melonjak hingga $7 atau lebih, sehingga menimbulkan tekanan yang tak tertahankan bagi rumah tangga Amerika yang sudah berjuang dengan biaya hidup yang tinggi.
Clear View Energy Partners memperkirakan, lonjakan harga tersebut dapat menambah biaya bahan bakar rumah tangga di AS hingga $2.500 per tahun.
Sektor-sektor utama seperti transportasi, manufaktur, dan pertanian akan menghadapi kenaikan biaya, yang mengancam pertumbuhan ekonom ASi sebesar 2 persen yang diramalkan oleh IMF untuk tahun 2025.
Israel juga tidak kebal terhadap guncangan energi ini. Penutupan ladang gas Leviathan dan Karish yang memasok dua pertiga gas negara itu, telah memaksa Israel bergantung pada bahan bakar yang lebih mahal seperti batu bara dan bahan bakar minyak. Hal ini telah meningkatkan biaya energi domestik dan menghentikan ekspor gas ke Mesir dan Yordania, sehingga mengurangi pendapatan mata uang asing Israel.
Dampak global: Inflasi, resesi, dan runtuhnya rantai pasokan
Perang Iran-Israel mengancam ekonomi global melalui kenaikan harga energi, gangguan rantai pasokan, dan tekanan inflasi.
Harga minyak yang lebih tinggi meningkatkan biaya produksi di sektor-sektor penting seperti petrokimia, plastik, dan pertanian, yang mendorong kenaikan harga barang-barang konsumen di seluruh dunia.
Negara-negara Asia seperti India, Jepang, dan Korea Selatan yang sangat bergantung pada impor minyak, menghadapi guncangan ini dengan cadangan yang terbatas dan tekanan mata uang yang meningkat.
Di Eropa, yang beralih ke Gulf LNG setelah gas Rusia terputus, gangguan di Selat Hormuz dapat menyebabkan harga energi meroket dan mendorong ekonomi yang sudah lesu ke dalam resesi.
Guncangan pasar global
Pasar keuangan global juga berguncang. Setelah serangan awal Israel pada 13 Juni 2025, indeks S&P 500 AS turun 2 persen dan STOXX 600 Eropa turun 1,8 persen.
Capital Economics memperkirakan bahwa perang regional yang lebih luas dapat memangkas pertumbuhan global sebesar 0,4 persen dan meningkatkan inflasi sebesar 1,5 persen, mendorong dunia menuju "stagflasi" ala tahun 1970-an.
Serangan yang meningkat oleh proksi Iran, seperti Houthi di Laut Merah, telah menaikkan biaya asuransi maritim hingga 30 persen, mengganggu rantai pasokan global. Bagi AS yang sangat bergantung pada impor dari Asia, ini berarti harga yang lebih tinggi dan kekurangan barang-barang penting.
Israel juga menghadapi krisis ekonomi domestik yang semakin dalam karena seperti dilansir MMO sebelumnya, perang dengan Iran membuat Israel mengalami kerugian sebesar $200 juta setiap hari, setara dengan 5 persen dari PDB negara itu pada tahun 2025.
Ekonom Israel Yaakov Sheinin telah memperingatkan bahwa konflik yang berkepanjangan dengan Iran dapat menghabiskan 20 persen dari PDB Israel dan mendorong negara tersebut ke dalam krisis keuangan yang parah.
Risiko strategis bagi Amerika Serikat
Keterlibatan AS dalam skala penuh dalam perang Iran vs Israel membawa risiko ekonomi dan geopolitik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan utang nasional sebesar $37 triliun dan defisit tahunan sebesar $1,8 triliun, AS tidak mampu menanggung perang Timur Tengah lainnya. Pengalaman perang Irak yang menelan biaya lebih dari $2 triliun, menunjukkan bagaimana intervensi semacam itu menguras sumber daya nasional.
Jenderal Douglas Macgregor telah memperingatkan bahwa mempertahankan diri dari pesawat nirawak murah seharga $20.000 milik Iran dengan rudal Patriot seharga $4 juta akan dengan cepat menghabiskan anggaran militer AS.
Selain itu, 40.000 tentara AS yang ditempatkan di Teluk Persia rentan terhadap serangan rudal Iran, yang berisiko menimbulkan kerugian besar bagi manusia dan finansial.
Secara geopolitik, intervensi Amerika mengancam aliansi globalnya. Negara-negara Eropa, yang mendukung diplomasi nuklir dengan Iran, kemungkinan akan menentang tindakan militer AS secara sepihak.
Tiongkok dan Rusia yang secara diplomatis berpihak kepada Iran, dapat memanfaatkan kekacauan ini untuk memperluas pengaruh mereka di Timur Tengah, yang selanjutnya melemahkan posisi global Amerika.
Kyle Rodda, seorang analis pasar keuangan, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa perang besar dapat membahayakan persaingan strategis AS-Tiongkok dengan mengalihkan sumber daya Amerika ke Timur Tengah.
Di dalam negeri, dukungan publik AS untuk keterlibatan negaranya dalam perang Iran-Israel, rendah. Jajak pendapat yang dilakukan YouGov pada Juni 2025 menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika menentang keterlibatan megaranya dalam perang Iran-Israel, dengan hanya sebagian kecil yang mendukung. Kenaikan harga gas dan inflasi dapat memicu ketidakpuasan publik dan ketidakstabilan politik, terutama menjelang pemilihan paruh waktu 2026.
Perang yang dapat menghancurkan ekonomi global
Perang Iran-Israel merupakan ancaman eksistensial bagi ekonomi AS, Israel, dan dunia. Guncangan harga minyak, inflasi yang melonjak, dan gangguan rantai pasokan hanyalah sebagian dari dampaknya.
Bagi Amerika, memasuki perang ini berarti harga gas yang meroket, resesi ekonomi, dan melemahnya posisi global, sementara publik dan sekutunya menentang langkah tersebut.
Israel menghadapi kerugian finansial dan ekonomi yang sangat besar yang dapat melumpuhkan ekonominya.
Diplomasi, betapapun sulitnya, tetap menjadi satu-satunya cara untuk mencegah badai ekonomi ini. Amerika Serikat harus belajar dari kesalahan masa lalunya di Irak dan Afghanistan, serta menahan diri, dan membuka jalan bagi negosiasi.
Dunia berada di tepi jurang, dan hanya kebijaksanaan diplomatik yang dapat menariknya kembali dari jurang tersebut. (man)