Jakarta, Harian Umum - Presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi sepertinya takkan henti berurusan dengan hukum, bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden pada 20 Oktober 2024 lalu.
Pasalnya, setelah tiga kali digugat pada rentang tahun 2021-2024 akibat ijazahnya yang diduga palsu, yakni digugat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Solo dan kembali di PN Jakarta Pusat, Jokowi akan dilaporkan ke Bareskrim Polri juga karena masalah ijazahnya itu.
Laporan akan dilakukan oleh Partai Rakyat Oposisi (Pro), Senin (9/12/2024).
Bahkan tak hanya soal ijazahnya, PRO juga akan melaporkan Jokowi terkait kasus pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Km 50 Jalan Tol Jakarta - Cikampek, Jawa Barat, pada 7 Desember 2020.
Kuasa hukum PRO dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana mengatakan, ijazah Jokowi dilaporkan karena pada tiga peristiwa hukum sebelumnya di PN Jakpus sebanyak dua kali dan PN Solo satu kali, dari 30 saksi yang dihadirkan di mana 27 di antaranya dari pihak Jokowi dan 3 dari pihak penggugat, tidak ada satupun yang pernah melihat ijazah asli Jokowi.
"Bahkan kepala sekolah SD, SMP dan SMA (yang dihadirkan sebagai saksi) pun tidak melihatnya, karena yang digugat memang bukan hanya ijazah S1 Jokowi yang dikeluarkan UGM, tapi juga ijazah SD, SMP dan SMA-nya," kata Eggi di White House, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12/2024).
Pengacara senior ini mengatakan, dalam hal ini, Jokowi diduga memalsukan data atau dokumen sebagaimana diatur pada pasal 263, 264 dan 266 KUHP dengan hukuman maksimal 8 tahun kurungan.
Soal Jokowi juga dilaporkan untuk kasus KM 50, Eggi menjelaskan bahwa ketika peristiwa itu terjadi, Jokowi menjabat sebagai presiden.
"Sebagai struktur (tertinggi dalam hirarki) kekuasaan, dia membawahi jaksa agung dan polisi, tapi mengapa dia tidak perintahkan usut tuntas ini sampai dia lengser? Berarti dia membiarkan sesuatu itu, dan itu dipidana, ada pasalnya," kata dia.
Dia menjelaskan pasal dimaksud, yakni pasal 421 KUHP. Jika merujuk pada hukuman di pengadilan HAM, itu hukumannya mati ini berat.
"(Jadi) jangan main-main. Ini kita buat sejarah di negeri ini presiden pertama yang dihukum mati namanya Jokowi," tegas dia.
Seperti diketahui, kasus KM 50 pernah menggegerkan publik karena melibatkan instansi kepolisian, dan bahkan karena saat konferensi pers kasus itu di Polda Metro Jaya hadir pula Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman, ada kecurigaan kalau.oknum.TNI pun terlibat.
Hingga kini bagaimana kronologi kasus yang menewaskan enam laskar FPI itu masih simpang siur karena versi polisi menyebutkan, keenam korban menyerang polisi dengan senjata api dan senjata tajam, sehingga terjadi baku tembak yang menewaskan keenam korban.
Namun, Sekretaris Umum FPI kala itu, Munarman, membantah kalau laskar FPI punya senjata tajam, apalagi senjata api. Ia membeberkan kalau kejadian itu berawal sejak Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dikawal 15 laskar FPI dengan lima mobil di mana setiap mobil berisi tiga laskar, meninggalkan rumahnya di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk menuju lokasi pengajian subuh keluarga di Karawang, dikuntit sejumlah mobil yang belakangan diketahui mobil polisi.
Mobil-mobil itu berusaha memepet mobil yang dinaiki HRS, akan tetapi selalu dihalau oleh para laskar.
Belakangan, karena fokus mengamankan HRS dan keluarga, dua mobil yang ditumpangi keenam korban tertinggal dan keenamnya sempat dinyatakan hilang, dan baru ketahuan nasibnya setelah Polda Metro Jaya menggelar konferensi pers tentang kematian keenam laskar itu pada 8 Desember 2024 pagi.
Komnas HAM sempat turun tangan menangani kasus ini, dan polisi kemudian menetapkan tiga polisi sebagai tersangka penembak empat dari enam laskar FPI, karena yang dua orang dinyatakan tewas saat baku tembak, yakni polisi berinisial EPZ, Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan.
EPZ meninggal karena kecelakaan sebelum kasusnya disidangkan di PN Jakarta Selatan, sementara Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan divonis bebas dengan alasan keduanya melakukan tindak pidana dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf.
Namun, karena persidangan yang berlangsung merujukmoada kronologi versi polisi, TPUA sendiri percaya bahwa Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan, karena luka-luka pada tubuh keenam korban menunjukkan bahwa mereka tewas bukan hanya karena ditembak, tetapi juga dianiaya atau disiksa.
Terkait laporan yang akan dibuatnya terhadap Jokowi, Ketua Umum PRO, Rustam Effendi, meminta seluruh rakyat mendukung laporan ini demi hadirnya keadilan dan kebenaran di Bumi Pertiwi..
"Kita ingin soal ijazah Jokowi ini bisa clear. Begitupun kasus KM 50. Sebab, selama Jokowi menjadi presiden, banyak yang menjadi korban akibat kebijakan-kebijakannya. Terbaru dan yang sedang hangat adalah warga Banten yang menjadi korban pemberian status PSN oleh Jokowi untuk proyek PIK 2 milik Taipan Aguan," katanya.
Ia juga meminta Prabowo untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang layak untuk dipercayai, dihargai, dihormati dan didukung seluruh rakyat
"Jangan sampai dunia melihat kalau Prabowo tunduk dan kalah terhadap orang yang ijazahnya pun tidak jelas," katanya.
Rustam meminta Prabowo memperbaiki sistem.hukum.yang dirusak Jokowi, dan membuat hukum tumpul ke atas, akan tetapi tajam ke bawah.
"Negara kita negara hukum, maka hukum adalah panglima. Jadi, Prabowo harus bisa mematikan laporan kami diproses dengan sebenar-benarnya, bukan berpihak kepada Jokowi dan para oknum seperti selama ini. Sebab, kalau masalah. Ijazah Jokowi dan KM 50 tidak tuntas, rakyat akan terus mengejarnya hingga keadilan didapatkan!" pungkas Rustam. (rhm)